Chef of The Month: Akira Back, Chef Owner Akira Back Restaurants

Berbagai kesenangan hidup seakan melekat erat pada keseharian Akira Back, chef & restaurateur di balik empat restoran besar yang tersebar di Las Vegas, New Delhi, Jakarta, hingga Seoul. Chef berdarah Korea yang tumbuh besar di Aspen, Colorado ini menjejakkan kakinya ke sudut-sudut glamor dunia tempat beberapa restorannya berada. “Saya senang traveling. Kalau tidak, takkan ada restoran-restoran saya yang buka di berbagai kota,” katanya. Ia lantas membeberkan rencana pembukaan sederet outlet berikutnya. “Kami akan buka di Singapura, lalu restoran ke-dua di Jakarta, kemudian Bangkok, Kanada, dan Dubai.” Kedengarannya mudah saja, namun kepercayaan diri Akira didukung tak lain oleh pengalamannya yang sudah lebih dari 20 tahun dalam bisnis restoran. Ia pernah menjadi atlet snowboard profesional, yang lantas banting setir bekerja di restoran karena menderita cedera. Keputusannya semakin mantap ditunjang kekagumannya pada Kenichi Kanada, pendiri restoran sushi dan masakan Asia di Aspen yang masih berdiri sejak 1991 hingga kini. “Saya ingin jadi seperti Kenichi, maka saya bekerja padanya, bukan karena saya senang masakannya atau masakan Jepang,” kata Akira. Tak kurang dari tujuh tahun ia dedikasikan pada Kenichi di Aspen, sebelum akhirnya turun tangan pada pembukaan restoran yang menyandang nama sama di Austin, Texas, dan Kona, Hawaii. Ditanya hal apa yang paling ia ingat dari masa-masa awal bekerja dengan Kenichi, Akira menjawab sambil tertawa, “Dibentak terus-terusan.” Menurutnya, ia adalah bagian dari generasi yang keren, yang tahan dibentak-bentak, disebut bodoh, dan dituding tidak becus memasak. Ia menjadi ‘haus’ untuk terus berupaya mencapai yang terbaik. Tetapi ia lantas mengatakan bahwa generasi masa kini lebih keren, dan harus dihadapi dengan pendekatan yang lebih hangat serta halus. Kepekaan Akira ‘membaca’ orang-orang di sekitarnya memiliki andil dalam mengantarnya ke gerbang kesuksesan. Berkali-kali ia menuturkan bahwa takkan dicapainya posisi yang sekarang tanpa dukungan timnya, baik yang di Jakarta, New Delhi, Las Vegas, maupun Seoul. Keberadaan timnya membuat ia percaya diri untuk terus melakukan ekspansi. Akira kerap mengajak anggota timnya bepergian bersamanya. “Saya senang traveling, jadi saya pun mengajak mereka ikut, supaya kami semakin kuat sebagai tim. Semakin banyak restoran yang saya buka, semakin saya mengerti artinya keluarga yang tak lain adalah anggota tim saya,” ia menjelaskan panjang lebar. Akira mengerti benar, bisnis restoran itu datang dan pergi. Walhasil, ia selalu berusaha menciptakan suasana yang menyenangkan bagi para pegawai di restorannya yang baru dibuka. Tak lupa ia memberi kesempatan untuk terus berkembang bagi staf yang sudah lama bekerja dengannya. “Mereka pasti ingin terus berkembang, sama seperti saya. Ingin terus berprestasi, mendapat kesempatan bepergian, dan saya memberikan kesempatan itu. Karena siapa lah saya tanpa mereka,” ia merenung. Setiap tahun berganti, selalu ada pula tantangan yang berbeda. Tetapi yang dianggapnya paling signifikan tetap tak jauh dari hal-hal tentang karyawan. Akira membebani dirinya dengan tugas untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi para pekerja, namun itu bukan berarti ia menjadi lembek di dapur. Ia mengakui dirinya terbilang konyol dan santai di luar dapur, tetapi galak dan gila di dalam dapur, dengan kepemimpinan yang terinspirasi gaya militer. “Saya melihatnya seperti main baseball. Saya harus memimpin, tapi memimpin tentara. Dapur adalah peperangan, dalam artian yang baik.” Kehidupan berjalan sangat cepat di sana, dan kalau ada sesuatu yang salah, kacau jadinya. Restoran yang selalu ramai adalah berkah sekaligus tantangan baginya. Pekerjaan para karyawannya, ia uji dengan pertanyaan, “Apakah kamu merasa pantas menghidangkan ini untuk ibu dan ayahmu? Jawabannya harus yakin bahwa pantas. Kalau perlu berpikir-pikir sebelum menjawab, jangan keluarkan hidangan itu,” kata sang chef dengan penuh percaya diri. Ia tidak ingin ada kesalahan sekecil apa pun terjadi pada pelanggan restorannya. “Saya harus mengawasi semuanya, tidak bisa santai saat bekerja.” Tak heran ia banyak berinvestasi dalam melatih karyawannya. Cobaan datang ketika tenaga yang sudah dilatihnya sampai pintar, mendapat tawaran bekerja di restoran lain yang baru dibuka. “Saya ikut senang kalau mereka mendapat kesempatan yang lebih baik. Tapi saya belum ingin mereka pergi sekarang, karena masih banyak kesempatan yang terbuka di sini.” Kedengaran seolah-olah tak pernah bepergian kecuali untuk urusan bisnis, Akira sebetulnya tetap memiliki cukup waktu untuk snowboarding. Ia pergi ‘berburu salju’ setidaknya tiga kali dalam setahun. Colorado, Whistler, Utah, atau Wyoming kerap menjadi destinasinya. Tak hanya gunung, ia pun suka pantai. Tapi jangan berharap melihatnya beraksi di atas papan selancar. “Saya sudah berkali-kali mencoba tapi gagal terus,” katanya tentang surfing. “Saya menyerah. Kalau ke pantai, saya akan berenang saja, lalu memancing dan berjemur.” Bicara soal saat-saat santai, Akira mengaku bahwa ia menyimpan buah-buahan, kombucha, dan pizza beku di dalam kulkasnya. Kudapan itu ia nikmati sambil menjadi couch potato, duduk seharian di sofa, menatap layar televisi. Jangan bayangkan Akira membuat tuna pizza dengan maldon salt dan truffle oil, hidangan andalannya di Akira Back Jakarta, untuk dijadikan pizza beku yang harus tersedia di kulkas di rumahnya. “Saya hanya manusia biasa yang membeli pizza beku di supermarket seperti orang-orang pada umumnya,” katanya jenaka. Entah apakah kini ia bisa bersantai menikmati pizza beku sebanyak yang diinginkannya. Sederet restoran baru untuk dibuka, ada di dalam agendanya. Sedikit petunjuk tentang sebuah steakhouse yang dijadwalkan segera beroperasi di Jakarta, adalah Korean Barbeque dengan sentuhan restoran steak gaya Amerika. “Anda akan melihat salad Korea yang lebih dari sekadar kimchi, lalu ada aged steak, dan dessert dengan permainan api. Saya sudah tidak sabar membuka tempat ini!” (MUT) Foto: Budi Haryanto