Cerita Sejauh Mata Memandang dan fbudi Mendaur Mode
Istilah “sustainable fashion” menjadi frase yang terdengar begitu oksimoron. Bagaimana sesuatu yang begitu eksesif mendapuk dirinya bisa berkesinambungan dengan lingkungan dan hajat hidup manusia? Apakah mungkin? Bagaimana manifestasinya? Bukankah ide ten
12 Jun 2020


Apa-apa saja yang ia jelaskan tentang sustainable fashion ia praktikkan dalam proses perubahan model bisnis ini. Peralihan untuk fokus membuat pakaian-pakaian secara custom tidak hanya didasarkan pada kesadaran untuk memproduksi lebih sedikit. Akan tetapi juga memperhitungkan peluang bisnis. Dari sisi produksi misalnya, Feli menjelaskan dirinya bisa menghasilkan produk dengan lebih efisien. Namun, tanpa mengorbankan sisi kreativitasnya. Di dalam model bisnis ini Felicia menemukan keseimbangan yang mungkin bisa menjadi satu peluang bagi fbudi.

Meski begitu, Feli menyadari betul model ini tidak mesti diadaptasi semua desainer. Setiap desainer, setiap brand pastilah mempunyai kekuatan dan tantangan yang berbeda. Dan perubahan serta solusi yang coba ditawarkan tiap desainer, agar menjadi sustainable tentunya mesti sejalan dengan DNA masing-masing.

Dalam kasusnya, Felicia melihat perkembangan pasar untuk produk mode sejenis dengan yang ia tawarkan. Sembari ia juga menimbang-nimbang ulang tujuannya sebagai seorang desainer. “Satu secara personal, setelah bertahun-tahun berkarya [membuat ready-to wear], saya merasa burn out. Capek. Terus saya bertanya ke diri saya apakah ini yang mau saya lakukan selama 20 tahun ke depan? Dan saya enggak melihat itu,” jelasnya.

Hal lain yang masih kerap luput dari percakapan tentang ekosistem industri mode yang berkesinambungan adalah tentang lokalitas. Bagaimana kita sebisa mungkin terlebih dulu mencari alternatif produk atau cara dari kearifan lokal. Felicia juga salah satu orang yang memang mengedepankan lokalitas. “Karena itu sudah pasti efeknya lebih baik ketimbang bergantung dari yang jauh. Misalnya dilihat dari jejak karbon kita,” jelas Feli. Meskipun ia juga tidak sama sekali menolak membeli barang dari luar negeri. Akan tetapi menurutnya kita perlu lebih banyak menimbang. Jangan sampai itu hanya menjadi pembelian impulsif.


 

Oleh karena itu, semestinya kita bisa lebih peka terhadap kearifan lokal Indonesia. “Kita bisa melihat lagi cara hidup kita dulu,” kata Chitra. Sejak dulu Indonesia udah eco-friendly banget. Nasi kita bungkus pakai daun, belanja kita pakai tas anyaman rotan. Modernisasi baratlah yang membuat kita kemudian beralih ke produk-produk serba cepat nan praktis. Ini pula yang dimaksud Felicia Budi ketika menjadikan kebudayaan sebagai salah satu variabel penting dalam membangun ekosistem industri mode yang berkesinambungan.

Kesadaran budaya juga kemudian bisa dapat menjadi alat bantu komunikasi publik tentang isu sustainability yang inklusif. Termasuk ke kelas masyarakat menengah ke bawah. Inklusivitas menurut Feli bukan dengan menyediakan alternatif produk yang lebih murah dalam jumlah yang lebih banyak untuk bisa diakses ke lebih banyak orang dari berbagai kelas sosial. “Saya tuh dulu pernah bilang sebenarnya bisa jadi perilaku konsumsi masyarakat menengah ke bawah itu lebih sustainable. Maksudnya, perputaran konsumsi mereka tidak akan secepat kelas menengah atas,” jelas Feli.

Tapi edukasi yang diberikan bukan untuk menyetel standar hidup baru. Akan tetapi menyegarkan kembali pengetahuan akan alternatif lain yang sempat ditinggalkan. “Saya terus terang merasa yang ditawarkan kepada masyarakat menengah ke bawah itu adalah jasa ketimbang produk baru. Entah itu untuk memperbaiki pakaian, atau belajar menyulam, dan sebagainya,” kata Feli yakin.

Sebab poin penting dari menjadi sustainable adalah bukan sekadar tentang memilih material baru yang lebih ramah lingkungan. Satu-satunya jaminan dari sekadar beralih jenis produk adalah bahwa ada setumpuk barang yang menjadi sampah karena tak lagi diinginkan orang. Lalu kemudian, menjadi masalah baru. Lebih dari itu, perlu juga dipikirkan cara-cara mengolah kembali material-material yang sudah ada di pasaran. Solusinya tidak sesederhana itu. Itu hanyalah salah satu dari begitu banyak hal yang mesti kita pikirkan bersama.

Poinnya adalah untuk melihat persoalan kesinambungan ekosistem industri dengan alam secara lebih holistik. Bukan hanya memilah mana bagian yang nyaman untuk dilakukan, seperti membeli pakaian baru dari bahan ramah lingkungan tapi kemudian hanya dikenakan sekali untuk satu gelaran acara. Sebagaimana hidup, kita perlu melihat produk apapun yang kita konsumsi sebagai satu bagian dari daur yang mesti diperhitungkan keberimbangan dan keberlangsungannya. Dari awal hingga akhirnya. (SHULIYA I RATANAVARA). Foto: Jonathan Raditya, Dok. Sejauh Mata Memandang.


 

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA