Saru Batik Tulis dan Cetakan Pabrik
Satu dekade setelah ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO, orang Indonesia masih sulit membedakan batik tulis dan mana yang cetakan pabrik.
2 Oct 2019




Satu dari lima orang Indonesia kesulitan untuk membedakan mana batik tulis dan batik cetak. Setidaknya itu yang Dewi dapatkan saat menggelar eksperimen kecil soal ini. Kami membawa tiga helai kain batik, satu diantaranya merupakan batik cetakan mesin.

Kepada para responden, kami meminta mereka untuk menebak mana kain yang hasil cetakan mesin. Mereka yang kami uji berupaya memperhatikan kain yang kami sodorkan dengan cermat, sambil berujar soal pengetahuan dasar soal batik yang mereka tahu tentang karakter batik tulis dan cetak.

“Saya sih memperhatikan layernya,” kata Alfi Prakoso, 25 tahun, yang kebetulan keluarganya juga memiliki koleksi batik. Sementara itu, Monica Danastri, 24 tahun, responden lainnya terus terang mengatakan tidak bisa membedakan. “Dalam bayangan saya, kalau motif batik cetak itu motifnya pasti sama. Exactly the same tiap motifnya, tapi ini tidak juga,” kata dia.

Alfi dan kawan-kawan merupakan perwakilan dari populasi masyarakat Indonesia yang secara mendasar kesulitan untuk membedakan batik cetak dan juga batik tulis. Sebagian besar dari mereka hanya mengetahui kalau batik itu merujuk pada motifnya belaka, dan tidak tahu banyak soal prosesnya.

“Membedakan batik tulis dan cetak memang menjadi perkara tersendiri. Butuh mata yang cukup terlatih untuk melakukannya. Mereka yang sudah terbiasa mengoleksi pun bisa saja tertipu,” kata Asisten Kurator Museum Tekstil Benny Gratha kepada Dewi.

Sejak diakui sebagai Warisan Dunia Tak Benda pada 2009 oleh UNESCO, skala batik sebagai sebuah bisnis memang meningkat dengan pesat. Menurut data Kementerian Perindustrian, nilai ekspor batik Indonesia keluar negeri mencapai 747 miliar Rupiah pada 2018. Tentu, angka itu belum termasuk jumlah penjualan batik di dalam negeri. Apalagi, saat ini masyarakat ramai-ramai rajin memakai batik sebagai salah satu tekstil kebanggaan dan identitas bangsa.

Dari permintaan yang besar ini, muncul ‘kreativitas’ berupa jalan pintas untuk membuat batik cetak dengan sedikit manipulasi. Praktek memproduksi batik cetak untuk kemudian menyelupkannya pada malam panas agar terlihat seperti batik tulis, kini jamak dilakukan. Celakanya, banyak pengusaha batik yang tidak jujur untuk menyebutkan kalau batik yang diproduksinya merupakan batik cetak, dan bukan batik tulis. Godaan atas laba merupakan salah satu penyebab kemunculan praktek tidak jujur semacam ini.

“Batik itu dunia yang sangat kompleks. Ada bermacam batik dari yang murah hingga yang mahal,” kata Pembina Perkumpulan Wastra Indonesia Poppy Barkah kepada Dewi. Ketidakjujuran banyak pengusaha batik yang mengejar laba, kata Poppy, sebenarnya juga berakar pada minimnya edukasi soal batik, satu dekade setelah batik ditetapkan sebagai Warisan Dunia.

“Saat ini, batik memang diapresiasi. Tapi, ada banyak hal yang perlu dipahami lebih dalam soal batik sebagai sebuah proses, bukan hanya sebuah tekstil yang berakhir di museum saja,” ujar Poppy. Pengertian mendalam soal batik yang punya proses panjang dalam pembuatannya, pada akhirnya akan mendorong apresiasi di tahapan yang lebih tinggi.

Saat ini, masyarakat Indonesia masih memiliki pola pikir segala hal harus murah. Soal kualitas, kebanyakan masih menganggapnya sebagai nomor ke sekian. “Tentu, dalam batik pilihan itu ada. Mau murah anda bisa mengenakan batik cetak, mau yang sedikit lebih mahal bisa cap, dan kalau ingin yang lebih mahal tentu bisa memilih batik tulis. Itu semua pilihan dan tidak bisa dipaksa,” kata Poppy.

Yang lebih penting kata Poppy, setiap orang yang mengenakan batik, sebaiknya tahu persis dan bertanggungjawab atas apa yang dikenakannya. “Tidak perlu jadi ahli sekali soal batik. Minimal memiliki pengetahuan yang cukup soal batik yang dipilihnya,” ujar dia. Hal yang sama juga berlaku bagi para penjual dan pedagang batik. Sejak awal, mereka seharusnya mampu untuk jujur soal batik yang diproduksinya. Jika memang batik cetak, silakan mengatakan kalau itu cetak. (Teks: SHULIYA RATANAVARA, SUBKHAN J. HAKIM). Foto: Dok. Dewi.

 

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA