Opini: Lagi-lagi Plagiasi
Di ranah industri kreatif Tanah Air, jiplak menjiplak menjadi sesuatu yang dianggap biasa. Perlukah para pelakunya diberikan sanksi di media sosial?
14 Apr 2021


Koleksi Daur dari Sejauh Mata Memandang




Akun Instagram Sejauh Mata Memandang banjir tanggapan dari sejumlah penggemar dan pemakainya. Gara-garanya adalah sebuah rangkaian Instagram Story yang memperlihatkan kemiripan yang tidak terbantahkan antara sebuah produk pakaian pendatang baru dengan beberapa artikel dari koleksi Sejauh. Mulai dari koleksi Timun Mas yang dipresentasikan pada Dewi Fashion Knights 2018 ataupun koleksi Daur yang pertama kali muncul pada Pesona Sisterhood Runway 2019 di JFW 2020.

Kesamaan terletak pada model pakaian dan keseluruhan tampilan motif yang bisa jadi memperdaya mereka yang kurang jeli. Pertanyaan pun banyak dialamatkan kepada Sejauh: Apakah brand pendatang baru ini memiliki hubungan dengan Sejauh? “Kami tidak memiliki afiliasi apapun dengan brand tersebut,” tulis Sejauh dalam Instagram Story yang tayang pada Senin, 12 April 2021. 

Dalam unggahannya, Sejauh menyebut kalau tampilan dari brand tersebut memang menimbulkan kebingungan di antara klien Sejauh. Apalagi, jenama tersebut diketahui juga cukup aktif dengan fitur Instagram Ads. Untuk itu, Sejauh, tanpa menyebut brand yang dimaksud, sengaja mengunggah rangkaian Instagram Story itu.

Hasilnya, mereka menemukan ada lebih banyak jenama yang ternyata punya kemiripan yang sangat kental dengan desain Sejauh yang dilaporkan oleh para pengikut Sejauh di media sosial. “Sebagian besar desain itu sebenarnya sudah kami daftarkan hak kekayaan intelektualnya,” kata Founder Sejauh Mata Memandang Chitra Subyakto.

Kasus semacam ini bukan kali pertama terjadi di ranah industri kreatif Indonesia. Saling mencontek produk yang dianggap sukses banyak terjadi di produk mode, interior, desain grafis, wisata hingga kuliner. Kasus terakhir yang juga ramai di media sosial adalah antara Choux Patisserie dengan sebuah brand lain yang dituding menjiplak ide cokelat, kemasan, bahkan hingga copywriting dalam invoice pembayaran.

Pun kalau merunut lebih jauh, yang dicontek sebenarnya bukan hanya label lokal asal Indonesia. Penjiplakan atas desain dari rumah mode luar negeri justru terjadi tanpa malu-malu di Tanah Air. Sebuah desain tas dengan desain Toile de Jouy yang desainnya punya kemiripan 80 persen dengan produk rumah mode Prancis tersebut malah dengan bangganya masih dijual dengan embel-embel ‘mendukung produk lokal.’ Itu hanya satu contoh dari banyak kasus lain.

Sebelum era media sosial makin besar seperti saat ini, sebenarnya kasus plagiasi yang massif juga pernah terjadi. Seorang desainer mode senior pernah menjiplak hampir seluruh tampilan koleksinya dari seorang desainer asal New York. Yang berbeda hanya warna. Sang desainer tahun itu dipermalukan di media sosial oleh sebuah akun anonim.

Beritanya pun juga naik di halaman media nasional saat itu (Saya termasuk salah satu orang yang menulis berita itu di media nasional). Akhirnya, desainer itu mendapatkan ‘hukuman’ dari organisasi tempatnya bernaung. Tapi, apakah itu membuat karya desainer itu tidak laku dan tidak disukai? Jawabannya tidak. Publik Indonesia mudah lupa dan mudah memaafkan. Jangan heran jika kemudian muncul kasus-kasus lain.

Seorang desainer asal Surabaya pernah menjiplak karya desainer pendatang baru asal Australia, Belanda dan juga desainer Indonesia sendiri. Karya para desainer itu begitu ikonis dengan kerumitan teknik yang cukup sulit, dan desainer asal Surabaya ini, sukses menjiplaknya dan membuat karyanya laku dijual di Tanah Air.

Mau yang lebih sakit hati lagi? Sejumlah desainer pendatang baru di Indonesia pernah melihat karya mereka benar-benar ditiru habis-habisan dari sebuah pabrik di China. Dan tentu, sama halnya seperti kasus e-commerce yang tengah ramai diperbincangkan beberapa waktu belakangan saat pabrikan di Tiongkok mampu meniru produksi UMKM Indonesia dan menjualnya dengan harga super murah. Ironis bukan?

Situasi ini dibiarkan bertahun-tahun. Media-media nasional yang sebenarnya punya kekuatan untuk membuat perubahan sepertinya tidak begitu peduli--atau bahkan tidak mengerti--dengan masalah industri kreatif yang sebenarnya kronis. Sementara itu, pemerintah sibuk menggaungkan industri kreatif dan juga kewirausahaan sebagai salah satu sektor yang harus didukung pembangunannya. Sayangnya, mereka lupa kalau bakat-bakat di sektor ini juga butuh perlindungan yang jelas dan butuh diberikan aturan main dalam persaingan usaha yang beretika. Prinsip amati, tiru, dan minta maaf sudah saatnya dibuang jauh-jauh. 

Jangan biarkan para talenta kreatif di Indonesia jadi putus asa. Jujur saja, sebagian desainer yang saya ajak bicara soal kasus semacam ini mengatakan sudah melewati fase ‘menangis, marah, dan kesal karena ditiru’ untuk kemudian menjadi “Ya Sudah. Ketawain aja deh.”

Industri macam apa yang akan dibangun bersama-sama kalau dengan mudahnya membiarkan maling dan mafia berkeliaran? Bahkan, malingnya lebih galak ketimbang orang yang ide dan desainnya dicuri. Bukan sekali dua kali saat seseorang berupaya membela hasil karya ciptanya di media sosial, dia malah dituntut balik dengan pasal UU ITE. 

Ibaratnya, posisinya serba sulit. Media di Indonesia sulit mengkritik karena hampir semuanya main aman--atau kembali lagi, tidak mengerti--dan lebih memilih bungkam saja atas isu semacam ini. Sedangkan aturan main dan pengetahuan atas etika bisnis justru bisa dibilang masih sangat minim. Pemain barunya banyak, dan sektor ini bisa dibilang sudah terlalu jenuh. Terlalu banyak pemain baru yang pada akhirnya memilih jalan pintas untuk meniru ketimbang benar-benar kreatif.

Selain itu, merintis usaha dalam bidang kreatif juga butuh pengetahuan mendasar tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Sejauh apa Anda terinspirasi dan sejauh mana Anda mencontek. Jika Anda menggunakan konsultan, tentu si konsultan dengan mata jelinya bisa memberitahu Anda apakah karya Anda terlalu mirip dengan karya yang sebelumnya sudah ada di pasaran. Kalau konsultan Anda tidak memberitahu soal itu--atau justru menyarankannya--ya untuk apa Anda membayar? Bagi saya secara pribadi, cuan dari industri kreatif itu harus. Tapi, tolong jangan maling! (SJH) Foto: Dokumentasi JFW
 

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA