
hingga sesama manusia.
Sebagai Ketua HDII Jakarta, kehadiran Ranu Scarvia Ria Fitri di ajang IFFINA+ 2025 adalah bentuk komitmen untuk terus mendukung perkembangan desain interior di tanah air. Tahun ini, ia tampil sebagai narasumber dalam sesi talkshow tentang identitas budaya dalam desain interior.
“Saya akan cerita tentang identitas budaya lewat bahasa tutur interior,” ujarnya. “Bagaimana pengalaman saya mendesain interior bandara Yogyakarta di Kulon Progo pada 2017–2018 bisa menjadi contoh bagaimana ruang tak sekadar wadah, tapi narasi.”
Melalui proyek tersebut, ia belajar bagaimana menyampaikan esensi budaya Kulon Progo dan Yogyakarta: dari bentuk gumukan, bunga kantil, hingga gerbang utama yang menjadi tanda memasuki kota Yogyakarta. Semua detail dirumuskan dalam filosofi hamemayu hayuning buwana, dan dibicarakan langsung dengan Sultan.
Pengalaman dalam Ruang
Bagi Ranu, ruang bukanlah “kosong yang diisi.” Ia melihat ruang sebagai pengalaman interaksi manusia dengan volume, tekstur, warna, hingga sesama manusia.
“Konsep ruang itu pemahaman, bagaimana mengelola elemen fisik agar fungsional dan estetis bagi penggunanya,” jelasnya. “Ada ruang yang lebih dominan fungsinya, seperti bandara atau rumah sakit, ada juga ruang yang lebih mengutamakan estetika dan suasana, seperti butik atau coffee shop. Untuk dua ruang yang terakhir, orang datang karena ambiensnya mengundang.”
Pengalaman mengajar selama hampir 15 tahun di Trisakti dan ITB membuatnya paham bahwa desain interior bukan sekadar soal gaya, melainkan empati. Ia mencontohkan nursery room yang sering luput dari perhatian: kecil, tak nyaman, tanpa fasilitas. “Padahal empati itu inti dari desain. Kalau tidak berangkat dari kebutuhan pengguna, ruang tidak akan pernah benar-benar hidup,” katanya.
Dalam setiap proyek, Ranu juga selalu menekankan pentingnya memahami pengguna. Di bandara, misalnya, ia membedah pengalaman premium traveler, solo traveler, hingga penumpang transit. “Kita harus pahami siapa yang akan hadir, aktivitasnya apa, dan bagaimana mereka bergerak di dalam ruang,” jelasnya. “Desain itu soal problem solving. Kalau ruang hanya indah tapi tidak fungsional, ia gagal melayani.”
Kepemimpinan dan Perempuan

Sebagai perempuan yang memimpin asosiasi desainer interior di Jakarta, Ranu melihat koleganya begitu tangguh, terutama para kolega perempuannya. “Di HDII, perempuan itu jagoan. Kita semua brand founder, profesional, dosen, atau entrepreneur, tapi tetap bisa menyisihkan waktu untuk asosiasi secara pro bono,” ungkapnya dengan bangga.
Ia juga memberi ruang bagi desainer muda, terutama perempuan, untuk bersuara. “Banyak yang malu tampil karena merasa kalah oleh senior. Tapi ketika mereka didorong untuk pamer karya, hasilnya luar biasa,” ujarnya.
Sebagai sosok yang sudah malang melintang di industri ini, baginya perjalanan menjadi desainer adalah proses jatuh bangun. Kesalahan teknis, ergonomi yang salah, hingga revisi konsep adalah bagian dari pembelajaran. Karena itu, ia selalu mendorong generasi muda, khususnya perempuan, untuk berani mengambil peran.
“Jangan ragu membawa perspektif unikmu. Dunia butuh itu,” tegasnya. “Kalau takut mencoba, kapan belajar? Perempuan punya sensitivitas berbeda, dan justru di situlah letak kekuatannya. Berani bikin perbedaan, dan teruslah rendah hati.”
***
Pameran furnitur, desain interior, dan kriya IFFINA+ 2025 hadir dengan ragam inspirasi desain interior serta program menarik, bersama 150+ brand, 25 desainer, 25 komunitas, dan 30 institusi.
IFFINA+ diselenggarakan oleh Asosiasi Industri Permebelan & Kerajinan Indonesia (Asmindo) bekerja sama dengan PT Mahala Imaji Kreasi, dan digelar pada 17-20 September 2025 di ICE BSD.
Foto: Adi Setyanto/HDII