Aidan and Ice, Untaian Energi Merengkuh Harmoni
Persahabatan menelurkan hubungan lain yang sarat makna. Kerja sama di dalamnya dipelihara untuk terus tumbuh dan meraih pencapaian terbaik.
13 Dec 2019





Jarum yang dibuntuti benang mencari jalan pada lorong manik biru.  Satu demi satu terangkai mengikuti pola. Jemari siaga di posisi. Ada yang mencengkram, menahan, dan menyematkan. Mata dan pikiran tertuju pada satu titik. Butuh ketelitian dan kemantapan untuk menyatukan berbagai macam manik dan material lainnya. Semua bekerja sama menanti dengan sabar, lahirnya sebuah perhiasan. Salah satu ciri khusus perhiasan ini terletak pada ukurannya yang besar dengan banyak detail dan material. Memang secara kasat mata, perhiasannya nampak berat. Tetapi ketika dipegang atau dipakai, perhiasan tersebut sangat ringan. Proses menjahit menggunakan tangan dan pemilihan material menjadi faktor mengapa Aidan and Ice seakan tanpa beban.  
 
Keseimbangan yang halus antara keberanian dan keindahan, klasik dan modern, hinga elegan dan playful merupakan DNA yang mengisi perhiasan Aidan and Ice. “Kami mendesain sendiri. Biasanya, kami godok ide lalu kita mulai dengan membuat semacam kampanye atau cerita yang harus kami bedah lebih rinci,” Eunice menjelaskan. Eunice Salim bersama Nadia Tusin Sukirno menggagas berdirinya Aidan and Ice pada 2013. Keduanya berbagi tugas mengisi kekurangan. Eunice memulai kerangka. Nadia yang memenuhi rangka dengan detail material. Pada kasus lain, tak jarang detail material terlebih dahulu ditemukan dan kerangka mengikuti. Bisa saja, mereka bertukar posisi. Nadia memegang kerangka lalu Eunice di ranah detail. Proses kerja dibiarkan mengalir dinamis namun tetap dalam garis profesionalisme. “Itu dalam desain. Kalau secara keseluruhan perusahaan, saya memegang bagian sales dan marketing. Eunice mengurus produksi dan procurement,” Nadia menegaskan.
 
Proses awal yang telah selesai dilanjutkan ke proses sampling. Tahap ini paling banyak menguras waktu. Karena mereka harus menyelaraskan imajinasi dan realita. Imajinasi bisa saja membentuk karya tanpa batas. Masalah datang ketika dihadapkan dengan realita yang serba terbatas. Desain yang sedemikian liarnya harus berbanding lurus dengan ketersediaan material. “Pernah kami punya suatu desain yang menggunakan mutiara Jepang. Tapi kami tidak mau mutiara yang memang sudah tersedia. Kami mau yang lebih kecil dan tidak ada. Akhirnya kami sesuaikan sendiri. Tak apa memakan waktu. Asal kami puas,” Nadia berkisah. Selain desain perhiasan, Nadia dan Eunice juga mengimajinasikan bagaimana sosok serta gaya pemakainya. Bekal yang cukup kuat untuk menghasilkan karya.
 
Dalam urusan material, Nadia dan Eunice memakai berbagai macam jenis bahan mulai dari kristal, batu berwarna, akrilik, logam ringan, mutiara, dan lain sebagainya. Material didapatkan dari sejumlah negara seperti India, Jepang, dan Republik Ceko. “Ukuran material kita semuanya kecil-kecil. Jika pada proses menjahit beda satu millimeter saja, maka akan sangat memengaruhi hasil akhirnya,” terang Eunice. Material yang sangat bervariasi ini dirangkai melalui teknik tiga dimensi. Mereka juga berusaha menemukan material baru lainnya agar bisa terus menghadirkan karya yang segar dan kaya. Termasuk sejumlah produk di luar perhiasan seperti topi, bando, dan sunglasses straps.  Rancangan sunglasses straps sudah ada sejak lama, tetapi belum diluncurkan. Nadia ingin koleksi ini keluar dengan sempurna dan mantap. Sehingga harus dilakukan percobaan dan perbaikan berulang kali. Sampai saatnya tiba, kebetulan Channel juga mengeluarkan koleksi sunglasses straps. “Itu momen yang sangat tepat untuk meluncurkan karya kami,” kata Eunice lagi.  
 

Sejak diluncurkan pertama kali secara daring, Aidan and Ice telah memperluas pasar lewat butik Masari. Aidan and Ice menjadi label lokal  pertama di sana. Selain Jakarta, Nadia dan Eunice juga merambah pasar Surabaya, Bali, Singapura hingga New York. Mereka juga telah membuka showroom di Paris Fashion Week tahun ini.  Sejauh ini, Aidan and Ice telah mengeluarkan beberapa koleksi sesuai musim di antaranya The Greek, The Book Club, Galaxy, dan Cuba. “Selanjutnya, perlahan tapi pasti saya mau coba memperluas jangkauan ke Timur Tengah,” ungkap Eunice. Keinginan tersebut diperkuat misi Nadia untuk tidak hanya menjadi label lokal tapi juga internasional.
 
Sampai sekarang, sudah banyak cerita yang mereka lalui. Tak semuanya tentang keberhasilan. Sebagian di antaranya tentang kekosongan ide, kesulitan material, hingga masalah teknis produksi. “Menjaga keberlangsungan dan konsistensi itu yang paling sulit. Kita mulai di titik nol. Proses dan waktu membuat kami tumbuh. Dari hanya seorang perempuan muda, lalu istri, hingga jadi ibu seperti sekarang ini. Suka atau tidak itu sangat memengaruhi,” Eunice melanjutkan. Di luar mengurus perhiasan, mereka berdua sibuk menjadi ibu. Masing-masing dari mereka dikaruniai dua orang anak. Terlepas beragam peran yang meliputinya, mereka akan selalu jadi sahabat bagi satu sama lain.
 
“Saya dan Eunice memang bersahabat sejak SMA. Kami teman sebangku. Persahabatan kami terus terjaga hingga kami lulus,” Nadia bercerita. Hubungan keduanya tidak surut meski berpisah saat kuliah. Nadia memilih melanjutkan sekolah finance and marketing di Australia sedangkan Eunice ke Amerika Serikat untuk belajar soal bisnis. Kembalinya ke Tanah Air dan melanjutkan hidup sebagai pekerja, mereka masih sering bercengkrama sepulang kantor. “Seringkali saya bermain ke rumah Eunice. Begitu pula Eunice,” tambah Nadia. Sebagian waktu acap kali bersama dihabiskannya membuat perhiasan sederhana dari tangan. “Dulu manik-manik juga sudah seperti sahabat saya. Percaya atau tidak, waktu sekolah, saya merasa tidak pernah belajar. Kegiatan yang saya lakukan hanya memotong-motong kertas lalu meronce,” Eunice berkisah sambil terkekeh. “Perhiasan berlian dan imitasi atau plastik lumayan banyak. Tapi kami sadar belum ada perhiasan yang berada di antara berlian dan imitasi. Kami buat semacam penengah. Sulit juga menemukan perhiasan statement seperti rancangan Erickson Beamon di Indonesia,” Nadia menjelaskan.

 
 
Nama Aidan and Ice merupakan gabungan dari nama keduanya. Aidan untuk Nadia yang dibaca terbalik dan Ice untuk dua kata di akhir nama Eunice. Segala hal yang mereka raih hari ini berasal kerja sama tim yang kuat.  Ada 40 orang yang bekerja untuk Aidan and Ice. Kantor di Jakarta hanya untuk tim desain. Pengrajin ada di sekitaran Jawa Tengah. Seluruhnya adalah perempuan. “Mereka sudah lama berkerja sama, lebih dari saling kenal. Itulah yang membuat kami solid,” kata Eunice.
 
Eunice dan Nadia menerapkan suasana kerja yang nyaman karena sangat kekeluargaan. Karyawan yang seluruhnya perempuan ini saling terbuka terhadap saran dan masukan karyawan dari divisi apapun.  Mereka belajar dari mendengar. Karena bisa saja apa yang mereka mau belum tentu sama seperti yang pelanggan inginkan. Berkerja di lingkungan yang positif secara otomatis turut menggetarkan semangat produktivitas. “Semuanya harus bahagia. Kami ingin mereka sejahtera. Perempuan-perempuan ini jadi berdaya lewat pekerjaan yang baik,” lanjut Eunice. Kebahagiaan yang sama juga harus sampai kepada pelanggan. Senyum Eunice dan Nadia merekah ketika melihat kiriman foto pelanggan yang memakai topi Aidan and Ice. “Hal kecil seperti ini yang selalu memberi kami energi baru setiap hari,” kata Eunice memandang foto tersebut. 
 
(Wahyu Septiyani)
Foto: Stephany Azali
Pengarah Gaya: Erick Tjong
Rias Wajah: Indri Novelin
Tata Rambut: Tri Darmayanti
Busana: Marlen, Natalia Kiantoro, dan Lene dari Fashionlink x #BLCKVNUE

 

 


Topic

Profile

Author

DEWI INDONESIA