Asmara Abigail Dan Kisahnya Berada di Zona Merah Pandemi

Secara eksklusif kepada Dewi, Asmara Abigail menuliskan keresahannya dari titik yang terdampak paling parah dari virus korona saat ini. Tulisan ini dikirimkan langsung oleh Asmara pada 18 Maret 2020 dari Milan.

Cinta saya kepada Italia yang tidak pernah berkesudahan. Mulai dari menjadi rumah kedua keluarga kedua, bagian dari hidup saya, bagian dari hati saya dan bagian dari budaya saya.
Dari berkuliah di sana, memiliki temanteman yang beragam dan tentu memperkaya pandangan saya terhadap dunia dan segala isinya sampai bertemu pasangan saya dan seluruh isi keluarganya. Sampai pada awal tahun 2020 saya dipertemukan dengan pandemi global korona di Italia. Mungkin memang sudah jodoh saya dan Italia berjuang bersama.

Saya ceritakan perjalanan saya menuju Milan pada bulan Februari 2020 dengan lengkap sampai pada detik ini saya mengetikan semua isi kepala saya dan curahan hati saya kepada Dewi. Karena kapan lagi suara hati kami didengar wahai kaum-kaum manusia yang ingin berkoar menyuarakan suara hati yang terdalam.

Saya telah mengatur jadwal kerja saya sedemikian rupa untuk bisa berada di Eropa kurang lebih satu bulan dengan basecamp saya yang berlokasi di Milan, Italia. Sampai di Milan pada tanggal 19 Februari 2020, setelah melalui pengecekan suhu badan di bandara, suasana bandara masih normal seperti biasa. Saya langsung menuju rumah dan bersiap-siap untuk bergabung dengan beberapa teman saya yang sudah sampai di Milan lebih dulu untuk Milan Fashion Week.

Advertisement

Kami langsung bertemu dan beraktivitas sesuai jadwal kerja masing-masing dan begitu seterusnya di hari-hari ke depan. Kami juga menghadiri Bvlgari Party untuk peluncuran koleksi terbaru aksesori kulit dan kacamata musim gugur/dingin 2020 di Bvlgari Hotel Milano. Pesta yang sangat sukses dengan beragam selebritas Italia dan juga influencers Bvlgari dari berbagai negara. Ruangan pesta pun penuh sesak dengan para tamu undangan yang berdansa bersama.

Makanan finger food pun tidak pernah berhenti selalu siap disajikan, di mana tangantangan berhamburan mengambil makanan dan minuman yang disajikan. Kontak fisik ada di mana-mana dan benda bernama hand sanitizer tak terlihat sama sekali. Kita akan bandingkan hari ini dengan situasi dua pekan ke depan. Di hari berikutnya yaitu hari Sabtu tanggal 22 Februari 2020 mulai tersebar di berita tentang merebaknya virus korona di kota Codogno, provinsi Lodi, region Lombardy, kurang lebih jaraknya 1 jam dari Milan. Dari berita yang saya ingat, pasien yang dinyatakan positif di hari itu sekitar 14 orang.
 

Mulailah di hari ini saya melihat beberapa penumpang metro jaringan kereta bawah tanah mulai menggunakan masker. Rasa mencekam dan curiga sudah mulai terasa tapi kami tetap menuju Palazzo Visconti yang berlokasi di belakang Duomo di Milano untuk hadir dalam peragaan busana Hian Tjen yang masuk dalam agenda Emerging Talents Milan. Peragaan busana pun berjalan dengan lancar dan penempatan karya Hian Tjen di urutan terakhir benar-benar menjadikannya puncak acara. Setelah keluar dari Palazzo Visconti suasana Milan terlihat berbeda, terasa betul bahwa orang-orang mulai terlihat tidak tenang, berita korona mulai ada dimana-mana. Keesokan harinya pun keadaan makin memburuk, beberapa daerah sudah diisolasi dengan status zona merah. Kehidupanpun mulai berubah, Milan Fashion Week hari terakhir berubah menjadi giant screen streaming, tidak ada lagi penikmat mode yang mengantri untuk menonton peragaan busana seperti hari-hari sebelumnya. Semakin hari situasi semakin ricuh, angka pasien kasus korona pun naik menjadi di atas 100. Warga Italia mulai mendapat sentimen dari warga Uni Eropa lainnya, Festival Cinemasia di mana seharusnya saya mendatangi penayangan film saya pun menyarankan agarsaya tidak berangkat karena kedatangan saya dari Milan, Lombardy.

Seakan-akan semua orang takut dan curiga terhadap masyarakat Italia bagian utara. Kenapa terjadi banyak kasus positif korona di Italia? Italia yang memiliki salah satu sistem kesehatan dan sanitasi publik yang terbaik di dunia melakukan banyak tes korona kepada warga negaranya. Talk show televisi sudah mulai tayang tanpa dihadiri penonton di studio dan berita televisi sudah membahas korona tanpa henti. Keadaan semakin parah pada tanggal 7 Maret 2020 di mana dalam sehari kasus bisa bertambah di atas 1.500 pasien positif korona. Akhirnya pemerintah Italia memutuskan pada tanggal 8 Maret 2020 wilayah Lombardy dan Veneto dinyatakan lockdown, tidak ada yang boleh masuk maupun keluar.

Berita sempat menyebar pada tanggal 7 Maret 2020 malam di mana sekitar 20.000 orang dari Lombardy dan Veneto   mengambil kereta dan bis terakhir untuk kabur ke kampung halaman, masalahnya apakah mereka positif COVID-19? Sulitnya mendeteksi COVID-19 merupakan permasalahan tersendiri karena gejala bisa saja baru muncul dua pekan kemudian. Gejala pun bisa beragam dari sakit paru-paru parah hingga tidak menunjukan gejala sama sekali alias sehat-sehat saja. Ini sungguh sangat membahayakan. Kita tidak tahu kalau kita positif dan tentu saja bisa menjadi pembawa virus bagi orang-orang yang berinteraksi dengan kita.

Gawai saya langsung penuh dengan pesanpesan dari kerabat kerja yang sangat peduli dengan kesehatan dan kondisi saya. Banyak dari mereka yang meminta saya untuk pulang ke Jakarta secepatnya. Tapi intuisi saya berkata saya harus tetap tinggal di Milan dalam situasi yang tidak pasti ini. Dengan situasi tidak menentu di seluruh penjuru dunia, segala peraturan imigrasi Uni Eropa, transparansi yang meragukan dari pemerintah Indonesia menyikapi kasus korona, situasi bandara yang tidak menentu, segala kegelisahan yang ada dan setelah berbicara dengan beberapa orang yang saya percayai lalu saya memutuskan untuk tetap tinggal di Milan dan berperang bersama dengan
penghuni Italia untuk melewati perang modern melawan virus korona.
 

 

Pertama kali dalam hidup saya merasakan situasi kritis dalam lingkup geografis Eropa, di mana pemerintah Italia dengan seluruh kekuatan yang dimiliki berusaha melindungi warga negaranya karena mereka tahu betul bahwa warga negara adalah aset negara yang harus dilindungi. Berbagi pro dan kontra tentang perekonomian yang hancur lebur karena banyak bisnis–kecuali toko kebutuhan primer—harus tutup lantaran penyebaran virus korona yang amat dahsyat. Meskipun akhirnya kami memang harus menerima kenyataan kalau ini merupakan solusi terbaik.

Globalisasi yang berputar begitu cepat akhirnya harus istirahat dan manusia pun akhirnya harus napak tilas. Sebagai warga negara dunia kita harus sadar bahwa kita adalah bagian dari globalisasi ini, bahwa setiap manusia di planet bumi ini semuanya terhubung, bahwa modernisasi dan globalisasi mendorong batasan-batasan garis territorial menjadi fatamorgana. Tapi apakah mental kita siap untuk menjadi warga negara dunia? Apakah sikap kita yang masih mengkotak-kotakan warna kulit dari putih, hitam dan kuning berjalan lurus dengan globalisasi yang kita idam-idamkan?

COVID-19 yang sudah dideklarasikan sebagai pandemi global oleh WHO bisa dibilang dirasakan oleh hampir seluruh warga negara dunia. Dan setiap manusia di bumi ini harus bersatu demi keselamatan satu sama lain. Apakah manusia memang kurang bersyukur sampai kita harus mengalami bencana luar biasa ini untuk kita belajar bahwa keseimbangan kehidupan kita dengan alam harus dijaga? Bahwa kita adalah bagian dari ekosistem, bahwa jika ekosistem rusak kita pun terjerat di dalamnya. Tidakkah manusia lupa beberapa bulan yang lalu bumi ini mengalami kebakaran hutan luar biasa dari Amazon, Kalimantan sampai Australia. Paru-paru bumi ini terbakar dan sekarang paru-paru kita terancam virus korona.
 

Kasus virus korona ini adalah salah satu dari berbagai kasus yang akan datang di masa depan jika manusia tidak merubah cara hidup mereka, jika mereka tidak menyeimbangkan kecepatan globalisasi dengan keseimbangan ekosistem. Seharusnya kita bersyukur akan musibah ini, kita bisa belajar dan seharusnya kita mengerti bahwa jalan  terbaik menuju kemenangan adalah berbagi kemenangan untuk tiap negara. Bahwa kita harus bekerja sama, saling mendukung dan tidak serakah.

Terulang-ulang di kepala saya lagu opera Luciano Pavarotti yang berjudul Nessun Dorma (No One Sleep) dengan refrain yang terus terngiang Vincerò! Vincerò! (I will Win). Well, in this case it we can call it We will win! We will win this war! Perang dunia di era modern ini bukan lagi untuk menunjukan siapa yang paling kuat dan punya kuasa di jagat raya ini. Tetapi untuk menang bersama sebagai umat manusia yang bersatu melawan kesalahan mereka sendiri dan mencoba menjadi umat manusia yang lebih baik untuk semesta. (Asmara Abigail) Foto: Dok. Pribadi

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Sentuhan Penuh Karya Dalam Hidangan Penutup Persembahan Four Season Jakarta

Next Post

Kiat #dirumahaja Ala Babar Si Gajah Lanvin

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.