Ein Halid: Tak Cukup Bekerja Sesuai Passion, Kita juga Perlu Memiliki Purpose
Selain passion, purpose atau tujuan juga diperlukan agar kiita lebih ajeg dalam berkarya di bidang yang digeluti.
8 Dec 2022


 
Memasuki penghujung tahun 2022, DEWI berbincang dengan beberapa sosok tentang berbagai hal mendalam, termasuk soal life purpose. Ein Halid, pendiri sekaligus pemilik ruang kreatif Studio Kha Pondok Indah pun bercerita tentang pengalamannya memadukan passion dengan purpose.
 
Mantan Editor in Chief majalah Cleo Indonesia tersebut juga membagikan refleksi-refleksi yang dilakukannya sebelum akhirnya ‘pindah haluan’ untuk berwirausaha di bidang kreatif, sekaligus menjalani pekerjaan kantoran di sebuah jenama otomotif asal Eropa.
 
Majalah Dewi (DEWI): Seperti apa konsep Studio Kha ini?
 
Ein Khalid (EIN): Studio Kha ini adalah tempat untuk kita memproduksi konten-konten kreatif sekaligus menggelar offline event. Jadi di sini bisa produksi media kreatif konvensional seperti photoshoot yang dilakukan Jakarta Fashion Week (JFW) kemarin itu, juga videoshoot. Tapi nggak hanya itu, Tim di studio Kha juga mengerjakan live streaming atau acara daring. Banyak juga klien yang suka bikin offline event di sini.
 
DEWI: Dari bidang media, lalu beralih jadi wirausaha lewat bisnis di Studio Kha. Seperti apa cerita awalnya?
 
EIN: Ide untuk mendirikan studio Kha ini muncul saat saya tuh lagi transisi. Sekitar tahun 2012-2013 dulu, saya sedang sabbatical leave dari pekerjaan, dan rencananya, tuh, cuma satu tahun. Di periode itu saya bertanya-tanya, apa, ya, yang mau saya kerjakan setelah ini?
 
Dari sana saya menggali ke dalam diri, berefleksi, dan menemukan bahwa sebetulnya saya, nih, senang, lho, mengerjakan konten-konten kreatif. Secara professional saya tumbuh dari majalah, dari fashion; dan berada di studio foto itu sudah menjadi makanan sehari-hari saya dari dulu, deh.
 
Jadi akhirnya saya pikir, kenapa tidak mereplikasi studio foto itu menjadi ruang serupa, tapi dengan manfaat yang juga bisa dirasakan oleh pekerja kreatif lainnya?
 
DEWI: Wah, ini menarik. Tapi kalau waktu itu Anda merasa sudah tidak betah lagi, kenapa tidak memilih untuk pindah pekerjaan saja selepas sabbatical leave?
 
EIN: Well, dalam setiap pekerjaan, saya selalu memilih untuk nggak sekadar melihat ‘enak atau nggak enaknya.’ Saya melihat lebih kepada banyak tantangannya aja, bahwa iya betul ada masa -masa nggak enaknya, tapi anggap itu sebagai tantangan.
 
Jadi kita bisa selalu melihat adanya peluang untuk tumbuh, karena kita ditantang untuk mencari tahu bagaimana caranya agar sesuatu itu lebih baik, lebih kreatif, bekerja lebih efisien, dan tentunya lebih efektif. Jadi nggak sekadar ngedumel, ‘Gue bete banget, deh, sama bos gue,’ terus memutuskan resign. Saya tidak mau segegabah itu. Harus ada plan-nya, nih, saya mau ngapain? Di sana itu perlunya jeda dengan sabbatical leave.
 
DEWI: Jadi apakah selama masa sabbatical itu, Anda menimbang berbagai hal apakah akan stay menekuni passion selepas pekerjaan waktu itu?
 
EIN: Nah, speaking of passion, menurutku sebetulnya passion itu bukan satu-satunya penentu apa yang mau kita kerjakan, juga soal apakah kita harus bekerja sesuai dengan passion atau tidak. Passion itu penting, itu betul. Namun selain itu juga harus ada purpose-nya.
 
Selama masa cuti panjang itu saya nggak hanya beristirahat, tapi sembari melakukan assessment juga ke diriku. Apa sih kemampuan yang saya miliki, kapasitasku seperti apa, dan purpose-nya itu apa? Ini pertanyaan-pertanyaan mendasar yang kalau kita tanyakan ke diri kita sendiri, tuh, menjawabnya perlu waktu.
 
Kalau sudah ketemu jawabannya, atau mulai terbayang nih, kira-kira mau ngapain, itu hopefully bisa lebih fokus menjalaninya. Susah-senangnya pekerjaan jadi lebih ajeg digeluti, karena kita punya purpose, punya tujuan, mau buat apa, sih, melakukan semua ini?
 
DEWI: menurut pengalaman Anda, apa bedanya passion dengan purpose?

EIN: Passion itu penting karena ini merupakan panggilan hati. Tapi, akan ada masanya kita jadi lebih emosional kalau ‘pegangannya’ cuma demi passion, padahal nggak selalu harus seperti itu.
 
Nah, purpose, menurutku, bisa lebih besar lagi daripada passion. Purpose itu tujuan kita, yang akan membuat kita bangun pagi dengan lebih optimis, karena kita ingat tujuan kita melakukan suatu hal, meski sedang berada di situasi yang sulit.
 
Kalau kita bekerja dengan purpose, kita juga nggak akan gampang goyah. Soalnya kita tahu purpose kita tuh penting, bermanfaat nggak hanya buat kita, tapi juga buat orang lain.
 
Misalnya ketika saya mendirikan Studio Kha ini, awalnya saya kerjakan karena passion. Saya ingin mereplikasi, meniru dinamika bekerja waktu saya dulu di studio dan bekerja sebagai fashion stylist, fashion editor, chief editor di majalah dulu. Tapi seiring perkembangannya, ada masanya saya lupa sisi bisnis yang harus saya pikirkan. Biar bagaimanapun juga, ini, kan, bisnis, dan bisnis itu harus berkembang.
 
 
DEWI: Apa kiat dari Anda bagi para pekerja yang sedang merasa penat dan bimbang, apakah perlu resign dari pekerjaannya, atau sekadar perlu mengambil jeda saya untuk menimbang ulang berbagai hal?
 
EIN: Kalau memang kitanya sendiri sudah penat banget, itu tandanya kita harus istirahat. Kalau memungkinkan, coba rekreasi, liburan piknik dikit gitu. Jadi kita punya energi baru lagi untuk bekerja kembali. Siapa tahu jadi bisa berpikir lebih jernih, dan melihat bahwa keinginan untuk resign itu pikiran sesaat aja.
 
Tapi kalau cuti aja rasanya nggak cukup refreshing, bisa jadi ini merupakan tanda bahwa kita harus sudah ada di tahap lain gitu dalam hidup kita. Mungkin saat itu kita tidak tahu tahap berikutnya apa, sih, gitu. Nah, di situ lah kita perlu ambil ‘libur panjang’ dulu dan memikirkan masak-masak langkah selanjutnya.
 
 

MARDYANA ULVA
Foto: Ardians Galoons

 

 


Topic

Career

Author

DEWI INDONESIA