Mahija, Kelebat Mimpi Sang Perupa
Dari pecahan-pecahan karya keramik, Mahija bermula. Memukau dan menenggelamkan perancangnya pada kesejatian cinta. Berbumbu kelebat mimpi dan pencarian tiada henti.
12 Dec 2019




“Mahija itu dari Bahasa Sansekerta. Artinya putra bumi,” Galuh Anindita, desainer perhiasan Mahija menukas ketika ditanya ihwal nama label aksesori yang ia dirikan pada 2015 silam. Kaki-kaki lincah yang menopang tubuh mungilnya melangkah ringan memasuki restoran piza di ujung jalan Tirtodipuran, Yogyakarta. Di ujung lain jalan itu, berdiri Tirtodipuran Link, di mana Mahija memiliki gerai tempat para pencinta aksesoris bisa melihat karya-karya unik Galuh.  Giwang, anting, ear cuff earrings, cincin, tusuk konde, kalung, gelang, baik dalam bentuk- bunga anggrek dan buah akasia yang sangat realis, hingga bentuk ular dan bentuk abstrak lain yang amat mistikal berpadu, berebut memancarkan pesona mereka dalam etalase kaca. Desainernya hanya tersenyum kecil atau sesekali tertawa lepas dambil menjawab dengan sabar manakala pengunjung memuji keindahan atau bertanya penuh selidik makna desain perhiasan yang ia buat.

Emas dan perak merupakan episode lanjutan dari eksplorasi Galuh terhadap desain aksesoris. Perempuan lulusan Desain Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang belakangan menekuni seni keramik ini memulai kariernya sebagai desainer aksesoris dengan sebuah eksperimen terhadap pecahan-pecahan keramik yang tersisa dari prosesnya berkarya. Tahun 2015 itu, dikisahkan Galuh, ia tengah mengalami kejenuhan berkarya dan ingin mencari kemungkinan lain yang bisa dilakukan dengan keramik. “Kegelisahan saya itu seperti dijawab Semesta dengan tantangan dari Lulu Lutfi Labibi yang saat itu sedang pula mempersiapkan koleksinya untuk tampil di Dewi Fashion Knight. Mas Lulu ingin memadankan koleksinya itu dengan bespoke jewelry yang membumi dan Indonesia banget,” Galuh mengenang awal perjalanan desain perhiasannya.           

Tanpa berpikir dua kali, Galuh menerima tantangan itu. Ia pergi ke studio keramiknya, memerhatikan karya-karya keramik yang ada di sana dan mulai mendesain. Pecahan-pecahan keramik dan logam ia jalin sedemikian rupa. Kalung, gelang dan giwang pun tercipta, berpadu selaras dengan busana-busana rancangan Lulu Lutfi Labibi di runway Dewi Fashion Knights 2015 itu.  “Banyak sekali kesulitan yang saya temukan ketika melakukan eksplorasi untuk bisa mengawinkan keramik dengan logam. Salah satunya karena standar saya yang terlalu tinggi untuk para perajin aksesori tempat saya membawa desain yang saya buat dan meminta mereka menerjemahkan desain itu sampai menjadi perhiasan, hingga bagi beberapa perajin perak yang ada di Kota Gede, tempat saya mencoba mewujudkan desain saya, menganggap saya terlalu perfeksionis. Barangkali karena cara kami bekerja dan standar kami melihat benda juga berbeda,” kenangnya.

 


Kendati demikian, Galuh tak patah arang. Ia tak mau berhenti mencoba mencipta. “Mahija seperti membawa saya pada kekaguman akan sekotak perhiasan warisan yang dimiliki Ibu, dulu saat saya masih kecil. Perhiasan-perhiasan kuno yang selalu membuat saya menatapnya penuh pesona dan merasa cantik kala mengenakannya. Saya senang berhias sejak masih kecil,” Galuh mengenang. Matanya berbinar dan tawa kecil meluncur dari bibirnya kala menceritakan itu. Namun, suatu hari, kotak perhiasan itu hilang dan meninggalkan sebuah lubang yang ternyata cukup dalam di hati Galuh. “Saat itu, rasanya ingin sekali membuat lagi perhiasan-perhiasan cantik persis seperti milik Ibu di kotak itu. Tapi ya sudah, seiring berjalannya waktu, lubang kecewa saya tertimbun berbagai kesibukan dan keinginan itu terlupakan,” katanya.   

Rasa tak puasnya pada koleksi perdana Mahija, membuat Galuh memutuskan untuk mempelajari proses pembuatan perhiasan dari para perajin yang membantunya dan mengulik logam secara serius. Ia berusaha mewujudkan desain yang ada dalam bayangannya jadi nyata. “Kebetulan, seorang ibu teman saya yang juga lulusan kriya logam dari ISI membantu memberi referensi pada siapa saya harus berguru. Proses belajar saya dimulai dengan mengobrol banyak sekali dengan orang-orang yang direkomendasikan ibu teman saya itu,” kisahnya. Ia memulai dari nol, hanya berbekal rasa penasaran. Ia bahkan belum kembali ingat keinginannya membuat perhiasan sendiri saat kotak perhiasan ibunya hilang. Hal yang justru ia ingat saat itu adalah pertemuannya dengan seorang dosen kriya logam  dari Malaysia di sebuah kota kecil di Jepang, tempat ia mengikuti sebuah pelatihan keramik pada seorang ceramic master di sana. “Beberapa tahun lalu, saya pernah mengikuti sebuah program apprenticeship keramik di Jepang. Saya bertemu dengan orang-orang yang tak hanya menggeluti keramik, tapi juga bekerja dengan logam, salah satunya seorang dosen kriya logam dari Malaysia. Dia bercerita bagaimana proses kerja dengan logam, membedah persoalan metalurgi, eksplorasi logam yang tak ada habisnya dan sebagainya. Dia bahkan dengan antusias menyatakan kekagumannya terhadap keris ketika tahu saya berasal dari Indonesia,” Galuh mengatakan. Dari sana, menurutnya, matanya jadi terbuka bahwa ia memiliki banyak sekali kemungkinan yang bisa dilakukan dalam desain keramik.

Pulang ke Indonesia, ternyata episode barunya berkarya segera dimulai ketika ia bertemu Lulu dan mulai membuat perhiasan. “Saat ini, saya masih turun tangan sendiri mengerjakan desain, dan membuatnya jadi perhiasan dibantu oleh seorang asisten produksi yang melakukan finishing. Belajar secara otodidak membuat perhiasan emas dan perak. Banyak sekali kesulitan yang saya temukan ketika melakukan eksplorasi untuk bisa mengawinkan keramik dengan logam,” kata Galuh yang mulai mengerjakan sendiri produksi perhiasan Mahija pada 2016.

Meski menemukan banyak kesuliutan, sebagai seorang desainer Galuh terbilang produktif mengeluarkan koleksi. Sedikitnya, ia melansir dua seri koleksi berbeda setiap tahunnya. Setelah Bantala, seri koleksi perdananya, sejak 2017 ia telah melansir seri lainnya seperti Plastic-phora, Unusual Delicacy, dan Closure yang akan terus diikuti koleksi-koleksi lainnya. “Untuk sebuah koleksi, saya bisa melakukan riset berbulan-bulan sebelumnya. Misalnya untuk koleksi Unusual Delicacy, saya melakukan riset sekitar delapan bulan sebelum akhirnya bisa memulai produksi. Di koleksi ini, saya mencoba menerapkan sebuah teknik menarik bernama electroforming,” jelasnya. Electroforming adalah sebuah proses lazim yang banyak digunakan dalam pembuatan perhiasan. Proses pembentukan logam membentuk bagian melalui deposit elektro terhadap benda tertentu yang menjadi model, yang dalam industri metal dikenal sebagai mandrel. Bunga-bunga anggrek adalah mandrel yang digunakan Galuh dalam koleksi Unusual Delicacy. “Saya memberi cairan konduktor yang membuat bunga-bunga anggrek yang menjadi model ini bisa berubah jadi logam ketika disetrum. Proses itu membuat saya menganggap anggrek sebagai bunga yang istimewa karena ia satu-satunya bunga yang bisa tahan mengalami proses tersebut,” katanya.

 


Sebelum mempelajari electroforming, Galuh mengaku mengalami kesulitan saat ingin mengejar tekstur dari pohon dan bunga yang menarik hatinya. “Alhasil, biasanya, saya bikin tekstur sendiri, meniru tekstur-tekstur itu. Berbeda dengan electroforming yang logam terbentuk sendiri sehingga bisa mengikuti modelnya secara persis,” jelas Galuh. Teknik ini memang bukan teknik yang asing bagi para perajin perhiasan di berbagai belahan dunia. Namun berhasil mempelajarinya, memberi Galuh keleluasaan untuk melakukan eksplorasi. “Apalagi, saya ini orang yang sangat suka berhias. Senang memakai aksesoris dan tergila-gila dengan ritual-ritual astronesia yang lekat dengan berbagai jenis bunga-bungaan,” katanya.

Lulu Lutfi Labibi, orang yang disebut Galuh sebagai salah satu sebab ia berkarya sebagai desainer perhiasan menyebut karya-karya perhiasan Mahija sebagai karya yang sentimentil. “Desain dan wujud Mahija tidak biasa, tidak harus rapi dan sama. Melihat karya-karya Galuh dalam Mahija, saya seperti bisa menemukan pilu dan bahagia dalam waktu yang bersamaan,” kata Lulu. Hal itu, yang menurut desainer busana yang banyak mengeksplorasi lurik tersebut yang mendekatkan dirinya dengan Galuh dan perhiasan rancangannya.  Hal itu pula, yang menurut Lulu membuat yakin menggandeng Galuh untuk mendesain perhiasan untuk koleksinya. “Saya pernah membeli karya keramik pertamanya yang bernama Cumplung. Pada Cumplung itu, saya seperti menemukan “Lulu” dalam dimensi yang lain. Menemukan keindahan pada ketidaksempurnaan yang ternyata kami yakini bersama,” Lulu mengungkapkan.

Perhiasan Austronesia yang berukuran besar namun feminin karena mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan, bunga, buah, dan benda-benda semesta lain seperti air, angin, tanah, bulan, bumi, dan matahari sebagai inspirasi, disebut Galuh cukup banyak mempengaruhi karya-karyanya. Desain-desain Mahija memang mengarah pada keindahan yang feminin tersebut dan tidak memilih bentuk-bentuk alam yang maskulin seperti taring, tulang dan sebagainya untuk menjadi inspirasi. “Mungkin karena saya suka berhias, senang mengoleksi perhiasan dan juga senang mengulik tentang body adornment secara mendalam, saya ingin membuat perempuan lain juga merasakan hal yang sama ketika memakai Mahija,” tandas Galuh. Perempuan berkaki lincah itu melemparkan senyum manisnya. Ia masih akan banyak mengarungi hidup dengan berbagai pengalaman yang tak selalu manis. Namun segetir apa pun, ia akan menuangkannya dalam koleksi perhiasan yang cantik dan membuat perempuan mana pun yang memakainya menjelma secantik karyanya. (Indah Ariani) Foto: Ig Raditya Bramantya



 

 


Topic

Profile

Author

DEWI INDONESIA