Melati & Isabel Wijsen, Yang Muda Yang Berdampak
Perubahan tidak mesti dilakukan oleh mereka yang telah punya cukup pengalaman. Kadang kala, perubahan bergulir dari hasrat yang membucah. Salah satunya yang dilakukan Melati & Isabel Wijsen lewat gerakan Bye Bye Plastic Bags.
17 Mar 2020


Melati Wijsen di World Economic Forum 2020.


“Nama saya Melati. Saya bukan CEO atau kepala institusi internasional. Tapi saya merepresentasikan suara generasi yang memiliki keyakinan bahwa kita harus berubah, kita harus mengambil tindakan dalam masa hidup kita,” begitu kalimat pembuka Melati Wisjen dalam pada konferensi pers World Economic Forum di Davos, Swis, Januari silam.

Berada di sana sebagai aktivis muda, ujarnya dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi, menunjukkan bahwa dunia mulai mendengarkan apa yang ia dan adiknya, Isabel Wisjen, serukan sejak enam tahun lalu. Kita semua harus berubah.  

Melati dan Isabel memang masih belia, tetapi mereka jelas bukan bocah ingusan. Bermula dari rasa kagum akan para pemimpin-pemimpin dunia yang mengubah arus peradaban dunia, dua bersaudara ini tergerak membuat perubahan di sekeliling mereka. Saat itu usia mereka tak lebih dari 12 dan 10 tahun, mereka juga tak punya mimpi yang begitu muluk, yang mereka tahu saat itu hanyalah hasrat untuk menjaga kelangsungan pulau rumah mereka.

“Saat memulai Bye Bye Plastic Bags ini kami tidak mempunyai model bisnis apapun. Kami memulainya murni dari hasrat kami untuk membuat Bali bebas dari kantong plastik. Tanpa sadar, ternyata kami telah memulai sebuah gerakan besar,” kata keduanya lewat surel kepada Dewi.

Menginisiasi gerakan sosial sedari belia membuat keduanya menyadari, butuh lebih dari usaha individu untuk membuat perubahan. Perlu ada usaha kolektif di sana yang melibatkan semua pihak. Mereka yakin bahwa yang terpenting adalah bagaimana mencari solusi yang bisa diaplikasikan bersama.

Bye Bye Plastic Bags adalah gerakan yang mereka inisiasi setelah belajar tentang tokoh-tokoh pengubah dunia di sekolah. Mereka pun memutar otak, mencari solusi yang bisa diberikan untuk pulau yang menjadi rumah mereka, Bali. Sampah plastik adalah masalah yang mereka kerap jumpai setiap hari di sana. Di situlah tercetus ide untuk memulai gerakan demi membebaskan Bali dari sampah plastik. Seperti riak air, Bye Bye Plastic Bags bermula dari gerakan kecil dua anak kecil bersama orangtua dan teman sepermainannya membersihkan sampah plastik. Gerakan itu lalu perlahan kian meluas dan membesar hingga akhirnya kini Bye Bye Plastic Bags mempunyai sekitar 50 tim di 29 negara yang mendorong pengurangan plastik sekali pakai lewat edukasi, diskusi, dan lobi kebijakan.

 


Dua orang muda ini tak hanya besar di Indonesia. Suara keduanya bahkan sudah didengar di forum-forum dunia. Terakhir, Melati Wijsen turut serta dalam World Economic Forum. Di sana ia hadir bersama sederet aktivis muda lain, terutama yang vokal menyuarakan tentang kesinambungan lingkungan termasuk Greta Thunberg. Tak sekadar menjadi “inspirasi”, anak-anak muda ini presisten untuk membuat dirinya didengar.

Menyelesaikan SMA satu tahun lebih awal di 2019, Melati memilih menunda pendidikan tingginya untuk memfokuskan diri pada perjuangannnya. Di sela-sela menjadi pembicara, membalas surel yang terkait dengan pekerjaan, dan rapat dengan berbagai pihak, Melati mengaku sangat menikmati menulis. “Saya merasa ini adalah cara terbaik untuk merefleksikan hal-hal gila yang terjadi setiap hari,” ujarnya. Impiannya dapat menerbitkan buku sebelum usianya 20 tahun.

Dalam risalahnya tentang World Economi Forum, Melati menceritakan bagaimana tiap-tiap elit politik dan bisnis yang menghadiri gelaran itu belum benar-benar mendengarkan mereka. “Dan salah satu favorit saya adalah pertanyaan di salah satu forum WEF: Apakah dunia sudah berada di jalur yang tepat untuk mencapai target tahun 2030? Jawabannya 100 persen belum. Jika itu tak membuat Anda tercekat, entah apa yang bisa,” tulis remaja 19 tahun itu di blognya.

Toh itu tak lantas membuat ia dan rekan-rekannya sesama aktivis muda lelah. Mereka malah makin lantang bersuara, menggerakkan perubahan besar yang dirasakan saat ini. Kini orang-orang di berbagai tataran mulai memahami urgensi dari krisis iklim. Menurutnya ini sudah bukan lagi saatnya mengalihkan perhatian dari krisis iklim serta bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya. “Orang-orang muda yang akan menjadi cermin dunia, sementara para CEO dan sektor-sektor swasta baru akan bergerak begitu mereka melihat insentif dalam bentuk dolar. Di sisi lain pemerintah lamban dalam menstimulasi perubahan. Ada begitu banyak hal yang harus kita lakukan. Pertanyaannya adalah sejauh mana kita bersedia untuk berbuat?” jelas Melati.

 


Terkait dengan maraknya para aktivis-aktivis berusia belia, Melati dan Isabel menyambut dengan antusias. “YES!How exciting is that?” ujar keduanya. Menurutnya hal ini terjadi karena akses informasi kian mudah didapat. “Hanya dengan satu klik kita sudah bisa belajar dan menjangkau begitu banyak orang. Perihal isu yang dibawa, Melati dan Isabel meyakini krisis iklim menjadi salah satu yang paling banyak dibicarakan dan tentunya isu-isu pergerakan sosial lain di seluruh dunia.

Untuk mengabadikan momen ini Melati pun menggagas proyek film dokumenter, Bigger Than Us. Dalam dokumenter yang akan dirilis pada medio 2020 ini, Melati menjelaskan fokusnya ada pada gerakan-gerakan para aktivis belia di seluruh dunia dengan isunya masing-masing. Benang merahnya satu, hasrat, kepedulian, dan usaha mereka untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. “Kami tidak ingin menunggu untuk menjadi headline berita atau untuk menjabat tangan pemerintah. Kami memilih ambil tindakan sekarang,” jelasnya.

Hal ini juga mengantarkannya melakukan sesuatu yang lebih besar lagi. Setelah sukses melebarkan sayap Bye Bye Plastic Bags ke 50 tim di 29 negara, Melati menyatakan tengah menyiapkan proyek terbarunya, Youthopia. Pendidikan jadi tonggak utamanya. “Saat ini sistem pendidikan kita tidak mampu mengajarkan kita persoalan nyata dan tidak pula memberikan solusinya,” papar Melati.

Untuk itu ia mengembangkan proyek ini, demi menyediakan wadah pembelajaran yang menyenangkan dan melibatkan peserta secara aktif dengan program studi peer-to-peer yang singkat. Harapannya program ini bisa menjadi sarana pemberdayaan kaum muda dan membekali mereka dengan kemampuan yang relevan untuk benar-benar membuat perubahan.

(SHULIYA RATANAVARA, NOFI TRIANA FIRMAN)
FOTO:  DOK. WORLD ECONOMIC FORUM, RONI BACHRONI





 

 

 


Topic

Profile

Author

DEWI INDONESIA