Review: “Soul”, Tentang Hidup yang Menghidupi
“Soul” mengajak kita menelusuri makna hidup dalam artian yang paling sederhana dan esensial. Makna yang sering kali hilang dalam bisingnya kota.
4 Jan 2021


Joe Gardner menunjukkan kecintaannya terhadap musik jaz dan piano. Film Soul juga mengeksplorasi pengalaman-pengalaman transedental yang dialami manusia. Seperti fenomena 'in the zone'.


“Ada cerita tentang ikan kecil yang bertanya kepada ikan besar, katanya ‘Hey di mana kah lautan?’ Ikan besar lalu tertawa dan menjawab ‘Kamu ini ada di lautan,’ tapi dengan kekeuh ikan kecil menyatakan ‘Ini air, aku mau ke lautan,’” kata Dorothea Perkins (Angela Basset) kepada protagonis utama kita Joe Gardner (Jamie Foxx) dalam salah satu bagian Soul (2020).

Sepenggal dialog itu boleh jadi menjadi fondasi cerita film teranyar Disney tersebut. Kisahnya bermula dari guru musik sekolah menengah pertama bernama Joe Gardner yang akhirnya mendapat kesempatan bermain satu panggung dengan musisi jaz favoritnya, Dorothea Perkins. Baginya ini adalah kesempatan emas yang akan mengubah jalan hidupnya. Sayang, nasib berkata lain. Ia lantas mengalami kecelakaan sebelum bermain di panggung yang telah lama ia nanti-nantikan.

Sepanjang film, protagonis kita menunggu kehidupannya dimulai lewat sebuah kesempatan emas yang akan melejitkannya.


Tidak terima kesempatan emasnya direnggut maut, Joe kemudian mencari celah di alam baka untuk kembali ke bumi. Dalam perjalanan itu ia dipertemukan dengan 22 (Tina Fey), jiwa yang menolak setengah mati untuk hidup di bumi. Dinamika antara keduanya dan pengembangan karakter 22 menggerakkan plot dengan efektif. Kecintaan kita akan kedua karakter tumbuh seiring dengan munculnya kecintaan 22 akan kehidupan di bumi.

Lewat kacamata 22 yang terjebak dala tubuh Joe Gardner kita melihat apa yang disebut joie de vivre. Tentang hidup yang menghidupi, hidup untuk hidup sendiri. Kesadaran yang sama akhirnya juga menghentak hati Joe Gardner setelah ia akhirnya berhasil kembali hidup dan bermain di gigs impiannya, tapi berakhir dengan perasaan datar. Kesan yang berujung pada interaksinya dengan Dorothea di bagian awal tulisan ini.

Dirilis pada akhir tahun 2020, film ini menjadi sangat kontekstual. Di tahun yang begitu sulit bagi semua, kita dipaksa untuk kembali merenungi makna berbagai hal di dunia. Termasuk tentang hidup.

Pixar menghadirkan pengalaman film animasi yang semakin sinematis lewat permainan cahaya, foreground, dan background yang apik.


Hidup di lingkungan urban membuat kita merasa hidup semestinya adalah tentang tujuan-tujuan besar. Tentang mimpi-mimpi besar, dan cerita heroik di mana tentu saja kita menjadi pemeran utamanya. Akan tetapi bersama perjalanan jiwa Joe Gardner dan 22 dalam Soul kita melihat cerminan lain tentang hidup. Bahwa hidup justru berharga dalam kesahajaannya. Dalam rutinitas yang sering kali terasa begitu-begitu saja, tetapi sesekali meninggalkan kesan mendalam.

Tidak hanya kontekstual, Soul juga boleh dikatakan menandakan benchmark baru bagi film-film panjang animasi. Kemajuan teknologi dan keterampilan Pixar dalam menghadirkan animasi nan realistis yang secara signifikan terlihat dalam film Toy Story 4, dieksplorasi lebih jauh dalam Soul. Tidak hanya menampilkan objek dan subjek karakter yang semakin realistis, tetapi Pixar juga menghadirkan depth adegan yang lebih sinematik dengan permainan foreground dan background, serta pencahayaan yang begitu apik. Menjadikan pengalaman menonton Soul tidak ubahnya menonton film live action. (SIR.) Foto: Dok. Disney Pixar

 


Topic

TV and Movies

Author

DEWI INDONESIA