
Tradisi still life sejak abad ke-16 kerap menyinggung kefanaan manusia, buah yang membusuk, bunga yang layu, atau susunan benda buatan yang lekas rapuh. Perupa Wedhar Riyadi menggemakan tradisi itu, tapi dengan bahasa yang lebih personal. Jejak hadir manusia terasa dalam permukaan tanah liat yang tak rata, dalam retakan, goresan, noda, patina… semua tanda bahwa benda-benda itu pernah “dihidupi”.
Maka dari itu, tanah, medium yang dipilihnya, memikul beban simbolis: ia adalah asal mula sekaligus akhir dari kehidupan. Dalam seri Tabletop Diaries yang hadir dalam pameran tunggal “In Between Stillness” di ara Contemporary, tanah menjadi tubuh yang merekam waktu. Kehidupan, sekaligus kefanaannya.
Lempung Sebagai Refleksi Kemanusiaan

Sering kali kita lupa, kehidupan tak hanya dibentuk oleh peristiwa besar, melainkan juga oleh momen kecil dalam keseharian kita. Ada keseharian yang tak menuntut sorotan, ada benda-benda biasa yang setia menemani tanpa kita sadari. Justru di dalam hal-hal sederhana itulah, kehidupan menemukan kedalaman yang paling jujur.
Dari ruang hening itulah lahir seri terbaru Wedhar, Tabletop Diaries, lahir. Dicipta dari pengamatan sunyi selama isolasi pandemi, Wedhar menoleh pada benda-benda domestik yang diam, nyaris tak diperhatikan. Ia melukis susunan objek mati—piring, gelas, wadah—namun bukan objek nyata, melainkan replika tanah liat.
Wedhar mengamati objek-objek di sekitarnya itu, lalu menghadirkannya kembali dalam bentuk karya yang merefleksikan kemanusiaan: dengan tekstur lempung yang sama rentannya dengan kehidupan manusia. Ia sengaja tidak memahat halus objek lempung yang ia cipta, menganalogikan sisi manuasia yang tidak selalu mulus, juga bahwa manusia itu pada dasarnya memang tidak sempurna.
Antara Alam dan Artifisial

Meski objek-objek dalam Tabletop Diaries berangkat dari kesederhanaan, Wedhar tidak menyajikannya dalam cara yang biasa. Alih-alih sekadar menyerupai potret still life klasik, lukisan-lukisannya tampak seperti panggung dramatik. Benda-benda polos itu berdiri tegas, seolah sedang diperiksa di bawah sorot lampu yang terlalu terang.
Latar belakang lukisan Wedhar justru berdenyut terang, dengan cahaya dan warna yang vibran hingga menyilaukan. Kontras ini melahirkan ketegangan antara yang natural dan yang artifisial—dua konteks yang memang sejak lama menjadi eksplorasi Wedhar. Jika sebelumnya ia bermain dengan potret manusia yang dipenuhi karakter komikal, kali ini ia menempatkan benda-benda sederhana di panggung yang terlampau “megah” dan sintetik.
Apakah kita secara naluriah selalu lebih memuliakan yang “alami” dibanding yang “buatan”? Ataukah, dalam dunia yang kian artifisial, justru buatanlah yang memberi kita realitas baru?
Dari Reformasi ke Keseharian
Wedhar Riyadi sendiri lahir dari generasi seniman Indonesia yang ditempa oleh masa transisi: jatuhnya rezim Orde Baru, euforia demokrasi, dan banjir budaya populer yang merasuk ke layar kaca dan ruang hiburan lokal. Pengalaman itulah yang membentuk bahasa visualnya—perpaduan antara kritik sosial, komedi gelap, hingga absurditas budaya massal.
Kini, lewat karya-karyanya ini, Wedhar seakan berputar arah: dari hiruk-pikuk budaya pop ke meja makan sehari-hari. Dari sejarah politik besar ke benda-benda paling sepele. Namun pergeseran itu tetap membawa napas yang sama: cara memandang kehidupan yang absurd, rapuh, namun sarat jejak manusia.
Melihat karya Wedhar—dan berbincang dengannya—rasanya seperti diajak kita pulang ke sesuatu yang lebih sederhana: meja, tanah liat, jejak tangan. Sebuah perayaan pada keseharian yang sering kita anggap remeh, pada kesunyian yang sering kita tinggalkan. Karena mungkin, di tengah dunia yang penuh kebisingan, makna sejati justru lahir dari yang hening, yang lambat, yang sepele.