Auguste Soesastro Menelusuri Ruang-Ruang Pengembara di Mongolia
Di bagian barat Mongolia, Auguste Soesastro berefleksi. Dapatkah manusia yang hidup di kota, pindah haluan dan hidup seperti para nomad?
17 Jul 2020


 


Perjalanan yang kami jalani diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah biasa berkuda, kalau tidak agak berat rasanya. Setiap hari kami akan menjalani hal yang sama. Makan pagi, berkuda, istirahat makan siang, berkuda kembali hingga sampai di tenda penduduk berikutnya.

Jarak yang kami tempuh dalam sehari kira-kira 40 kilometer. Terdengarnya monoton, hanya itu-itu saja, namun pemandangan yang kami nikmati akan terus berganti dengan sama atau bahkan lebih indah dari hari-hari sebelumnya.

 


Kontur alam pegunungan ini terhitung rata. Sejauh mata memandang kosong saja, tidak ada orang. Rutenya pun tidak ada yang pasti, tidak ada penunjuk jalan apa-apa di sini. Ada jalan yang terlihat lebih botak karena lebih sering dilalui tapi itu pun hanya sedikit kami temui. Di sini, kami bisa bebas melesat kencang ke tengah padang yang lapang. Seorang pemandu mendampingi perjalanan berkuda kami. Ia yang membawa kami melewati jalur yang indah, melewati gunung, hutan, air terjun, serta makam-makam pengembara zaman Genghis Khan dulu. Sangat damai rasanya dapat berada di alam, melihat sekelompok kuda liar berlarian. Tanpa pemimpin, tanpa batas-batas pasti, mereka hanya bercengkrama menikmati kebebasan.
 
Saya sudah berkuda sejak kecil namun kuda-kuda Mongolia berbeda dari kuda yang biasanya saya temui. Secara fisik mereka agak pendek. Mereka pun tidak 100 persen jinak sehingga saya harus lebih berhati-hati. Perlu ada rasa saling menghormati agar mereka dapat menerima arahan. Kuda yang sudah dilatih mengerti gestur-gestur yang biasa dipakai. Dicolek saja dengan dengkul, mereka sudah tahu itu artinya harus berbelok. Namun kuda Mongolia tidak demikian. ‘Berbicara’ dengan mereka perlu gerakan yang lebih keras, seperti gaya koboi.


 

 


Topic

Travel

Author

DEWI INDONESIA