Opini: New Normal Traveling
Bagi industri pariwisata dan perjalanan, normal baru berarti berubahnya standar protokol. Kebersihan dan kesehatan menjadi prioritas nomor satu. Tidak perlu heran jika nanti Anda akan dilayani oleh orang yang memakai masker, sarung tangan, bahkan baju haz
11 Jun 2020




WHO (World Health Organization) mengumumkan keberadaan virus corona pertama kali pada akhir Desember 2019. Tidak ada yang menyangka virus yang berasal dari Cina ini telah menjadi pandemi global. Sampai tulisan ini dibuat, terdapat lebih dari 4,4 juta orang positif COVID-19 yang tersebar di 213 negara di dunia dengan jumlah korban meninggal nyaris 300.000 nyawa. Untuk mengendalikan penyebaran virus, setiap negara memberlakukan pembatasan perjalanan dan penutupan ruang publik. Tak heran industri pariwisata dan perjalanan lah yang terkena dampak paling parah. WWTC (World Travel and Tourism Council) menyatakan bahwa pariwisata secara global telah kehilangan 100 juta pekerjaan dan 2,7 triliun dolar pendapatan.

Pariwisata di Indonesia pun nyaris tumbang akibat pandemi ini. Saya dan banyak pekerja yang bergantung pada pariwisata ikut lumpuh. Namun selain tidak adanya pemasukan, ternyata dampaknya lebih hancur lagi pada fisik dan mental saya! Ini pertama kalinya saya terjebak sangat lama di satu tempat, dan semua ini membuat saya jadi sakit dan kontraproduktif. Sulit menemukan hal positif lain dari dampak pandemi selain kondisi bumi yang membaik.

Meski awalnya tidak terima, lalu marah, sampai depresi, tapi akhirnya sekarang saya ada di tahap pasrah menerima keadaan. Sudah rahasia umum bahwa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hanya ditaati seminggu pertama saja, lama-lama semakin tidak bisa dikontrol. Sementara itu virus tetap menyebar, korban terus bertambah, vaksin belum ditemukan, dan kurva belum juga melandai. Mau tidak mau kita semua harus berdamai dengan COVID-19!

Itu artinya kita siap menjalani kehidupan dengan menerapkan “new normal” atau normal baru. Secara umum kita akan terus menjaga jarak di kerumunan, memakai masker di ruang publik, dan mencuci tangan sesering mungkin. Meski normal baru bagi saya pribadi adalah berolahraga dan beribadah online, namun saya masih berharap kedua hal ini akan kembali normal: berolahraga di gym dan beribadah di gereja. Terus terang saya jadi agak paranoid dengan orang banyak dalam satu ruangan. Lebaran minggu depan kemungkinan besar saya tidak akan pelukan dan cipika-cipiki dengan keluarga atau teman yang tidak serumah.

Bagi industri pariwisata dan perjalanan, normal baru berarti berubahnya standar protokol pada hotel, restoran, jasa transportasi, mal, toko, museum, dan lain-lain. Kebersihan dan kesehatan menjadi prioritas nomor satu. Pengecekan suhu tubuh, penyemprotan disinfektan, penyediaan hand sanitizer dan wastafel adalah wajib hukumnya. Kita pun akan terbiasa dilayani oleh karyawan yang memakai masker, sarung tangan, bahkan baju hazmat, atau kasir dan resepsionis dengan penghalang plastik.

Bagaimana traveling setelah PSBB berakhir? Dalam jangka pendek, yang akan pulih lebih dahulu adalah pariwisata domestik karena perjalanan internasional masih dibatasi. Untuk amannya, pergilah ke tempat yang terdekat dari rumah dulu. Staycation (menginap di hotel yang berada di kota sendiri) akan jadi pilihan liburan keluarga yang relatif aman. Lalu, perjalanan dengan menggunakan mobil pribadi akan meningkat untuk mengunjungi sanak saudara di luar kota. Sementara penginapan dengan jumlah kamar sedikit dan rumah sewa akan lebih disukai demi menghindari kerumunan besar.

 


Saat ini sebagian hotel telah memberikan paket diskon khusus bila membayar sekarang untuk penggunaan kapanpun sampai akhir tahun. Wacana maskapai penerbangan mengosongkan kursi tengah belum bisa diterapkan, jadi  risiko ini harus diperhitungkan. Fleksibilitas untuk mengubah tanggal dan pembatalan pemesanan mau tak mau harus diterapkan para pelaku bisnis pariwisata bila ingin memenangkan persaingan. Selain itu, untuk mendapat kepercayaan dari tamu, mereka juga harus menginformasikan ke publik bagaimana tata cara kebersihan dan kesehatan di tiap propertinya secara berkala.

Dalam jangka panjang, kita akan menghadapi dunia yang semakin contactless. Selain reservasi, ke depannya kita juga akan check-in dan check-out secara online tanpa harus bertemu resepsionis. Penggunaan uang tunai pun semakin dihindari. Ketika makan di restoran atau masuk museum, jumlah pengunjung akan dibatasi dalam waktu yang sama. Mungkin akan ada aplikasi yang bisa mengetahui berapa banyak orang dalam satu ruangan/kerumunan atau aplikasi lainnya yang mendukung normal baru.

Perjalanan ke luar negeri diperkirakan baru bisa dilakukan paling tidak tahun depan. Negara-negara dengan korban COVID-19 lebih sedikit akan dicari wisatawan, contohnya Vietnam dan Maldives lebih diminati dibandingkan Amerika Serikat dan Italia. Setiap negara akan memiliki peraturan tentang siapa yang boleh masuk dan dengan syarat apa, maka biasakan memeriksa situs travel advise sebelum pergi. Siap-siap bila nantinya harus menyertakan semacam kartu bebas COVID-19, dan berharaplah pengajuan visa tidak dipersulit.

Bagaimana masa depan pariwisata setelah pandemi berakhir? Sebagai “tukang jalan-jalan” lebih dari tiga dekade dan mengalami banyak peristiwa besar dunia, saya optimis dengan masa depan pariwisata. Saya ingat dulu SARS (Severe Acute Respiratory Syndrom) yang menjangkiti puluhan negara dan aksi terorisme 9/11 di Amerika Serikat telah mengubah standar kesehatan dan kemanan dunia, seperti pengecekan suhu tubuh dan pemeriksaan bagasi yang ketat di bandara. Saat itu pariwisata menurun bahkan berhenti, namun hanya sementara. Setelah itu, orang kembali traveling seakan-akan tidak terjadi apa-apa, bahkan semakin meningkat tiap tahunnya.

Semua akan pulih pada waktunya. Kita hanya perlu beradaptasi dengan tata cara baru. Maka hitunglah sendiri risikonya dan bersiaplah menentukan destinasi jalan-jalan Anda dari sekarang! (Trinity Traveler)

 

 

Author

DEWI INDONESIA