Spektrum Warna Surga di Lembah Hunza
Seringkali didaulat sebagai gambaran nyata dari legenda Shangri-La, Lembah Hunza menyimpan lebih dari sekadar pemandangan yang dramatis, namun juga budaya dan keramah-tamahan penduduk yang legendaris.
1 Feb 2020




Pagi itu kami terbangun dari tidur yang tidak sepenuhnya pulas. Tadi malam suhu hampir  mencapai 0 derajat Celcius, dan kebanyakan hotel di sepanjang Karakoram Highway, Pakistan tidak dilengkapi dengan pemanas ruangan. Kami baru melalui perjalanan tiga jam dalam gelap gulita dari Kota Gilgit, sehingga tidak punya bayangan seperti apa lembah Hunza yang melegenda itu. Yang saya tahu hanya tadi malam kami sampai di Kota Karimabad di Lembah Hunza.

Sebelah mata sambil mengernyit dahi, saya membuka gorden jendela, lalu bangun menuju pintu balkon. Kamar sederhana kami ini memiliki balkon yang besar. Belum sadar penuh, saya memberanikan diri untuk membuka pintu balkon meskipun yakin di luar sana kulit saya akan ditusuk-tusuk oleh dinginnya udara pegunungan Karakoram. Setidaknya, pagi itu sinar matahari sudah mengintip-intip tajam dari jendela.

Terkejut, di depan mata tiba-tiba ada bukit-bukit raksasa berwarna putih. Dua puncaknya menjulang tinggi seakan tak jauh dari balkon tempat saya berdiri. Di sebelah kanan, Puncak Rakaposhi setinggi 7.788 meter di atas permukaan laut. Dan yang persis di depan mata saya adalah Puncak Diran, 7.266 meter di atas permukaan laut. Belum sepenuhnya saya melihat Hunza, tapi pemandangan pagi ini sudah cukup mengusik adrenalin, sehingga tak sabar menjelajah lembah ini lebih jauh lagi.

 



Khyber Pakhtunkhwa
Hari ini adalah hari ke-5 perjalanan road trip kami menyusuri jalur legendaris Karakoram HighwayPerjalanan dimulai dari Islamabad menuju Naran, di mana terdapat sebuah danau glasial cantik bernama Saiful Muluk di ketinggian 3.224 meter di atas permukaan laut. 

Perjalanan menuju Naran yang berada dalam provinsi Khyber Pakhtunkhwa (KPK) terbilang ngeri-ngeri sedap. Tidak hanya secara fisik melalu tebing-tebing tinggi yang curam, namun juga secara psikologis. 

Belum berselang satu dekade, provinsi KPK ini tergolong provinsi yang rawan oleh Taliban. Mayoritas penduduknya adalah dari suku Pasthun yang juga suku terbanyak di Afghanistan. Kami melewati Kota Abbottabad, tempat Osama Bin Laden ditemukan dan dibunuh. Bahkan di kota ini pula kami sempat berhenti untuk sarapan. 

Seperti halnya pemandangan di seluruh provinsi KPK, di kota ini kami tidak melihat perempuan seorangpun, baik itu di jalanan, pasar, bahkan di restoran. Semua pekerja adalah laki-laki, yang berbelanja juga laki-laki, pelayan dan tukang masak pun laki-laki. Saya bertanya pada Nawab, pemandu kami yang berasal dari Peshawar, kota terbesar di provinsi KPK. “Di mana perempuan-perempuannya?” “Mereka ada di rumah,” jawab Nawab. “Dalam budaya Pasthun, perempuan yang sudah dewasa memang tidak sewajarnya untuk keluar rumah, kecuali dengan suaminya, itu pun jarang.” 

Saya bertanya lagi, “Lalu apakah mereka sekolah? Selain menjadi istri dan masak di rumah, apa pekerjaan yang bisa mereka lakukan?” Nawab menjelaskan bahwa perempuan Pasthun bisa bersekolah, bahkan tak sedikit yang menempuh pendidikan sarjana, meskipun pekerjaan untuk perempuan masih terbatas, yaitu menjadi guru, dokter atau pengacara.

Pagi itu kami yang “campur” laki-laki dan perempuan menikmati sarapan omelet, roti paratha dan chai di dalam ruangan khusus, terpisah dari laki-laki lokal berjenggot dan berpakaian Shalwar Kameez yang makan di teras. Luntur semua rasa takut dan khawatir, karena yang kami temukan di restoran itu justru senyuman, sapaan, rasa penasaran dan keramah-tamahan yang tulus dari semua orang yang kami temui. Dan ini ternyata kami rasakan di sepanjang perjalanan kami di Pakistan.
 

 


Topic

Travel Guide

Author

DEWI INDONESIA