
Di tengah hidup yang serba cepat, banyak perempuan kerap merasa harus terus berlari. Harus stabil, harus sukses, harus kuat, bahkan di saat tubuh memberi tanda lelah. Standar yang sering kali dibentuk oleh keluarga, budaya, dan dunia kerja yang maskulin membuat kita lupa bertanya: benarkah ini cara hidup yang sesuai dengan diriku sendiri?
Dari kegelisahan itulah, human design hadir bukan sekadar sebagai metode spiritual baru, melainkan sebuah peta untuk pulang ke diri. Sebuah ajakan untuk berhenti sejenak, mendengarkan tubuh, emosi, juga intuisi sebelum membuat keputusan penting dalam hidup.
Memetakan ‘Blue-Print’ Diri
DEWI berbincang dengan Tsarama Fahrana, seorang human design coach di Jivaraga, yang menyebut bahwa human design adalah sistem yang memadukan astrologi, I Ching, Kabbalah, dan ilmu modern untuk memetakan “cetakan energi” bawaan seseorang. Pendekatan ini menjawab pertanyaan: Bagaimana kita dirancang untuk mengambil keputusan, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia?
Tsamara menganalogikan pemahaman diri terkait Human Design ini ibarat mengemudi dengan bantuan aplikasi navigasi. Human Design menawarkan panduan unik, yang membantu kita memahami bahwa setiap individu, dengan tipe energinya masing-masing, memiliki potensi kewirausahaan yang beragam dan bisa mencapai tujuannya dengan caranya masing-masing pula.
Mindfulness dalam Pengambilan Keputusan
Menurut Tsamara lagi, menawarkan panduan unik yang membantu kita memahami bahwa setiap individu memiliki potensi beragam dan bisa mencapai tujuannya dengan caranya masing-masing pula. Inti dari praktik ini adalah cara kita mengambil keputusan.
“Biasanya orang berpikir logis: pro-kontra, jangka panjang, jangka pendek. Padahal, setiap orang punya cara unik,” jelasnya. Ada yang tubuhnya memberi sinyal lewat rasa excited, ada yang perlu mendengar suara sendiri saat berbicara, ada pula yang mesti menunggu emosi mereda.

Pendekatan ini selaras dengan mindfulness: kesadaran untuk hadir penuh dalam diri, alih-alih terburu-buru menuruti logika atau tekanan luar. Perempuan yang sering kali terbiasa ‘mengutamakan orang lain’ bisa belajar kembali untuk mendengar ritme tubuhnya sendiri.
Menyusuri Luka Kolektif dan Proses Penyembuhan
Yang membuat human design menarik adalah kemampuannya memetakan bukan hanya kesadaran, tapi juga bawah sadar. Luka-luka yang diwariskan dari ibu, nenek, bahkan buyut; mulai dari represi mimpi, beban ekonomi, hingga keterbatasan peran sosial, masih hidup di tubuh generasi sekarang.
Di sinilah self-discovery menjadi proses kolektif. Bukan hanya soal “aku ingin mengenal diriku,” tetapi juga mengurai warisan beban yang membuat perempuan sering ragu mengklaim kemandirian, feminitas, dan kepekaannya. Healing atau pemulihan pun di sini berarti membebaskan diri dari rantai yang diwariskan, agar kita bisa melangkah dengan lebih ringan.
Memberdayakan di Dunia yang Maskulin
Dunia kerja dan bisnis modern kerap menuntut produktivitas tanpa jeda, lembur tanpa henti, bahkan saat tubuh membutuhkan istirahat. Energi maskulin mendominasi, seakan hanya kecepatan dan kekuatan yang dihargai.
Human design memberi alternatif. Bahwa empowerment tidak harus berarti meniru pola maskulin, melainkan merayakan siklus energi perempuan. Ada saatnya mendorong, ada saatnya diam, ada saatnya melepas. Penerimaan ini justru menjadi sumber kekuatan: bekerja bukan melawan diri, melainkan bersama diri.
Sinergi, Bukan Kompetisi
Dalam perspektif human design, setiap orang memiliki energi berbeda: ada yang visioner, ada yang konsisten membangun, ada yang jeli membaca tren. Alih-alih melihat perbedaan ini sebagai batasan, Tsamara mengajak untuk melihatnya sebagai potensi sinergi.
Bagi perempuan yang terjun ke dunia entrepreneurship, kesadaran ini penting. Bahwa kita tidak harus memikul semua beban sendiri, tidak perlu meniru jalur orang lain, dan justru bisa berdaya dengan saling melengkapi. Pemberdayaan pun di sini bukan “sendiri harus kuat,” melainkan “bersama lebih seimbang.”
Pemulihan Kolektif
Lebih jauh, human design juga membuka lapisan bawah sadar: luka-luka yang diwariskan dari ibu, nenek, bahkan buyut. Dari represi mimpi, keterbatasan peran, hingga beban ekonomi. Proses penyembuhan ini bukan hanya personal, tapi juga kolektif. Dengan mengenali pola lama, kita memberi ruang bagi generasi sekarang untuk melangkah lebih bebas.
Pada akhirnya, mengenal diri sendiri merupakan perjalanan panjang. Butuh waktu, kesabaran, dan keberanian untuk setia pada diri. Namun setiap langkah kecil, mendengar tubuh, memberi jeda, memilih dengan sadar, adalah bentuk reclaiming: mengambil kembali hak atas hidup kita.
Teks: Mardyana Ulva
Foto: Gayuh Prasongko