
Menjelang akhir tahun, media sosial dipenuhi potongan-potongan hidup para kawan dan kerabat yang tampak sempurna: perjalanan impian, pencapaian karier, tawa di tempat-tempat indah. Kita menontonnya dengan rasa terhibur, bahkan ikut Bahagia, namun sering kali, setelah layar ditutup, ada rasa lain yang tertinggal. Sebuah sunyi yang membuat kita bertanya: “Apakah yang kumiliki dan kujalani tahun ini sudah cukup?”
Ingat Bahwa yang Kita Lihat Adalah Kurasi
Apa yang hadir di linimasa hanyalah puncak gunung es. Di balik satu foto liburan, ada hari-hari kerja panjang. Di balik satu pencapaian, ada kegagalan, ragu, dan jatuh bangun yang tak pernah terunggah. Membandingkan hidup kita yang utuh dengan potongan hidup orang lain yang terkurasi bukanlah perbandingan yang adil; dan sering kali, justru melukai diri sendiri.
Hormati Perjalanan yang Tak Sama
Setiap perempuan berjalan di jalurnya sendiri, dengan waktu dan tantangan yang berbeda. Tidak ada garis finish yang seragam. Di akhir tahun ini, mungkin yang paling kita butuhkan bukan dorongan untuk “lebih”, melainkan izin untuk berkata: hidupku, apa adanya hari ini, sudah layak dihargai.
Welas Asih pada Diri untuk Menutup Tahun
Alih-alih menilai diri dari pencapaian orang lain, kita bisa memilih untuk menutup tahun dengan welas asih. Mengurangi waktu menatap linimasa, memperbanyak waktu mendengar diri. Karena sering kali, kebahagiaan bukan soal sejauh apa kita melangkah, tetapi seberapa jujur kita hadir dalam hidup yang sedang kita jalani.
***
Menutup tahun tidak selalu harus dengan rangkuman pencapaian atau daftar target baru. Kadang, ia cukup ditutup dengan kejujuran yang lembut: mengakui lelah, mensyukuri yang telah bertahan, dan melepaskan dorongan untuk terus membandingkan.
Di tengah riuh linimasa, kita boleh memilih hening: sebuah ruang sunyi untuk kembali berakar pada hidup yang sedang kita jalani. Karena hidup yang paling layak dirayakan adalah hidup yang benar-benar kita hidupi, bukan yang tampak sempurna di layar orang lain.