
Satu akhir pekan penuh denting sulang dan decak lidah, semuanya dibalut cita rasa masa yang telah silam… Demikianlah Luxury Dining Series dari Marriott Bonvoy memungkas lawatan mereka di Jakarta, 11-14 September 2025. Dijamu oleh The St. Regis Jakarta, Indonesia adalah tuan rumah keenam dari tujuh negara yang ditunjuk dalam acara tahunan Marriott Bonvoy ini. DEWI berkesempatan mengikuti rangkaian acara selama tiga malam, mengulik racikan andrawina (fine dining) terbaik dari khazanah rasa Nusantara.
Hari Pertama

Memasuki lobby The St. Regis Jakarta, matahari merasuk lewat sela-sela langit-langit dari tembaga berukir surya. Cahaya benderang seakan menghidupkan corak matahari, ciri khas The House of Astor, yang menjadi motif vernakular di seantero bangunan. Dengan langgam art deco yang kental, The St. Regis Jakarta setia terhadap sejarahnya dari pesisir timur Amerika. Alkisah adalah Caroline “Lina” Astor, pengampu 400 keluarga sosialita pada Masa Keemasan New York, yang menjadi pitarah jenama ini. Warisan Nyonya Astor masih setia dikenang, dengan tiap sudut The St. Regis Jakarta selalu berhias bunga segar–termasuk kalung anggrek yang menyambut kehadiran tamu.



Dari New York ke Mataram: malam harinya, area terbuka Bel Étage telah disulap bak pelataran sebuah keraton. Setelah ritual sabrage dengan permainan lampu dan komposisi lagu Avip Priatna, tamu dibawa menuju taman yang telah disulap jelita. Janur kuning terselip di antara rindang pohon, sementara di sudut-sudut teras, instalasi dari gebyok, anyaman lontar, dan roncean melati–bunga-bungaan Nusantara, homage lokal untuk tradisi Astor. Tari Jawa dan wayang kulit menjadi sambutan sebelum tamu berkumpul di ruang makan untuk bersantap andrawina.



Sesuai tajuk gelaran, Chef Tino Ibrata menghadirkan “Forgotten Flavors,” cita rasa dan resep Nusantara yang telah lama terlupakan. Yang pertama dihidangkan adalah asinan denga kuah terinfusi tuak; cita rasa yang dihadirkan mirip dengan cuko Palembang, segar dan menggugah selera; serta sop matahari khas Solo yang gurih dengan roulade kaya tekstur.
Selanjutnya makanan disajikan dengan gaya rijstaffel. Gabus pucung Betawi yang disajikan mirip pempek, ayam lodho dan serundeng daging khas Jawa Timur nan legit, bersanding dengan taoge goreng Bogor nan renyah dan oseng gori Yogyakarta yang sederhana. Menariknya, semua disajikan secara autentik, dengan cita rasa yang asli pula. Nasi bambu Sumatera, misalnya, disajikan dengan bakul satu-persatu.

Menutup malam adalah pusparagam jajan pasar. Repertoar kudapan yang disajikan, nampaknya, adalah yang paling lengkap yang pernah saya lihat. Dari hidangan wajib seperti klepon dan getuk, hingga kipo yang bahkan sudah jarang di kota asalnya. Bahwa seluruh tamu Indonesia bahkan terpukau menu andrawina malam itu, agaknya, adalah pujian terbesar akan autentisitas menu yang terhidang.
Hari Kedua
Cerah matahari menyambut pagi hari. Di Bel Étage, Chef Tino telah menanti dengan sajian sarapan rumahan khas Indonesia. Menarik bahwa semua disajikan prasaja: nasi jotos dengan potongan ubi, disantap dengan telur mata sapi berbumbu kecap dan pecel hijau yang renyah. Serabi kocor khas Surakarta memberikan asupan gula yang dibutuhkan untuk perjalanan selanjutnya.



Bus membawa kami menuju Iwan Tirta Home. Disambut oleh pengampu jenama legendaris ini, Rindu Pradnyasmita dan Widya Anggraini, seluruh pengunjung mengamati kediaman mendiang perancang. Bangunan bergaya mid-century ala Hindia Tropis ini dibeli oleh mendiang Iwan Tirta pada tahun 2006, sebelum kemudian direnovasi jelang kepergian beliau. Lahan parkir menjadi kolam dengan teras untuk membatik, menghadap ke dinding diagonal.
Lantas, jamuan! Chef Kevin Lee menyajikan kudapan high tea berkolaborasi dengan Iwan Tirta Private Collection. Menarik bahwa menu klasik Nusantara dipadatkan dalam potong-potongan satu suap: bebek Madura yang gurih, gulai rendang Sumatra, hingga nasi kuning diracik ulang menjadi menu kudapan gurih. Hidangan manis dengan isian kelapa dan gula aren, serta saus karamel terinfusi nangka, menjadi padu-padan tradisional dan kontemporer nan apik.


Rombongan kemudian bertandang ke Javara di bilangan Kemang. Dikenal sebagai produsen bahan pangan dengan kearifan Nusantara, pengunjung tidak hanya diajak oleh sang pendiri, Helianti Helman, mendalami pusparagam rempah Indonesia, pun juga meracik sendiri sejumlah sambal khas daerah. Kegiatan ini justru berhasil mendulang rasa lapar ketika akhirnya buffet masakan Nusantara dibuka.

Tiga jenis nasi warna-warni, dengan infusi telang, kunyit, dan suji, mendampingi sate padang, ikan bakar colo-colo, lawar Bali, dan coto Makassar. Sebagai penutup, pengunjung diajak mengicip berbagai madu, keripik, dan kuih yang diolah Javara bersama artisan-artisan lokal. Cita rasa yang paling menonjol adalah madu stroberi dari Jawa Barat; keripik brokoli dan keripik tempe truffle; serta sirup gula aren nan legit.



Malam harinya adalah andrawina spesial yang lain. J.J.A. mengundang Chef Arne Riehn dari IGNIV Bangkok dalam “Taste of Tales,” andrawina lima course yang didampingi dengan anggur Prancis dalam tiap suapnya. Gastronomi yang disajikan adalah perpaduan yang unik: andrawina Swiss diracik dengan sentuhan bahan pangan tropis khas Thailand.
Dibuka dengan amuse-bouche cantik, dari cincang buah tropis seperti somtam dalam kulit pangsit, hingga sepotong buah bit berlapis keju dan saus kemangi. Hidangan utama adalah iga wagyu berbalur cincang salsa verde kacang walnut dan kembang pangan di atasnya, disantap bersama kembang kol panggang dan jus mentega cokelat yang lezat. dengan daging panggang tersebut bersanding sempurna bersama anggur merah yang sukses menguatkan rasanya.



Pun, justru mid-course ikan cod dengan saus miso-lah yang memukai lidah. Ikan cod yang lembut pun masih tetap mempertahanan integritas dagingnya, dibalut dengan umami dari kombu pegunungan yang langka, hampir membuat saya menitikkan air mata. Apabila keindahan dapat dikecap lidah, sungguh inilah ejawantah yang paripurna…
Setelah hidangan penutup, Chef Arne keluar dari dapur, mengajak bersulang dengan liquor ceri khas Swiss beraroma harum floral. Sebuah encore nan apik, sesuai idiom dalam Bahasa Inggris, “Give someone their flowers–Berikan seseorang bunga-bunga mereka.”
Hari Ketiga
Sebuah ziarah ke Batavia: agaknya inilah tema besar untuk hari ketiga. Lepas pelesir ke Museum Wayang di alun-alun Kota Tua, pengunjung berhenti untuk makan siang di Café Batavia. Bangunan tertua kedua setelah Museum Fatahillah ini telah menjadi pusat café society sejak tahun 1805. Lukisan para Gubernur Jenderal Hindia mengingatkan sejarah bangunan ini melewati berbagai era. Adalah tepat bahwa sajian yang terhidang kemudian adalah ragam menu Peranakan, dari ayam kodok yang semarak hingga lontong Medan yang gurih. Batavia adalah sebuah kota kosmopolitan, mengikat berbagai bangsa dalam obsesinya terhadap rempah.







Sore hari, The Drawing Room menyajikan kolaborasi jelita antara Chef Kevin Lee dengan Chef Janice Wong. Yang diangkat adalah kakao, komoditas dagang Hindia Belanda yang demikian mendunia. Bak sebuah fresko monumental, Chef Janice membesut sebuah dinding setinggi dua meter, seluruhnya murni dari praline cokelat; yang dihias motif abstrak laiknya lukisan ekspresionis. Coretan warna-warni tumpang-tindih dengan garis-garis keemasan selintas membuat saya teringat kepada kilau-kemilau mahakarya Klimt. Bunga-bunga cokelat dengan isian karamel dipetik dari dinding cokelat ini: sebuah mimpi psikedelik dalam tiga dimensi…
Malam harinya, seluruh tamu diundang ke The St. Regis Bar, yang baru saja dianugerahi peringkat ke-26 dalam daftar 50 Best Bars Asia. Centrepiece berupa instalasi kandelir art deco membangkitkan kenangan akan Renaisans Harlem yang semarak. Melewati koridor remang, kami dibawa ke ruang privat dengan cellar berisi koleksi wiski, tempat acaraki telah meracik koktail dalam belanga kaca. Harum kayu manis menguar tatkala koktail didulang dari belanga ke gelas-gelas kaca, sambil menyambut ritual Violet Hour khas The St. Regis Bar–ketika langit berwarna nila menandai pergantian siang ke malam dan liquor pertama dituang.



The St. Regis Bar menghadirkan dua acaraki: Yasuhiro Kawakubo dari Punch Room Tokyo dan Giovanni Graziadei dari Punch Room Singapore. Uniknya, masing-masing meracik koktail yang terinspirasi sejarah Batavia sebagai pusat kehidupan malam Asia pada akhir abad kesembilan belas. Koktail punch bowl dari Batavia, rupa-rupanya, memiliki nama masyhur dalam sejarah acaraki global, dengan perpaduan gula tebu dan rempah, komoditas primadona Hindia.



Dua koktail menjadi favorit saya malam itu. Yang pertama adalah Sugar Road milik Yasuhiro. Koktail terinfusi matcha ini begitu berbahaya: wiski Aberfeldy berusia dua belas tahun bertemu dengan pahit matcha yang kuat. Sangat lembut dan halus, udah diteguk, pun diam-diam kuat. Taburan cokelat putih di atas es batunya adalah homage kepada pabrik-pabrik yang mengimpor gula dari Batavia hingga mewarnai jalanan Tokyo dengan serbuk putih, demikian jelas Yasuhiro.
Kedua, Sunda Straits Punch racikan Giovanni; sebuah koktail punch dengan warna biru telang. Gin Bombay Sapphire dan rum carta blanca Bacardi menjadi landasan bagi cita rasa mentimun segar dari punch pusparagam liquor ini. Kesegaran yang disajikan seakan menghapus dahaga, tepat untuk mengiringi dansa dalam alunan musik soul yang menggema seantero ruangan. Dua koktail lain juga menjadi primadona: Bamboo Katana Martini dengan anggur muskat dan Golden Poci segar serasa es jeruk.
Demikianlah, Luxury Dining Series dari Mariott Bonvoy dipungkas oleh The St. Regis Jakarta dengan gegap-gempita: sebuah perayaan cita rasa, begitu kaya dan semarak, bukan sekadar karena seleranya, melainkan karena juga racik khazanahnya.
