Negeri Elok: Menilik Peta Rasa Nusantara Lewat Soto

Soto bukan hanya soal rasa, tapi tentang asal-usul. Dari pasar pagi hingga meja makan malam, ia menyimpan jejak budaya Indonesia.
Dikenal juga dengan sebutan tauto, sroto, coto—soto hadir sebagai mozaik budaya di setiap daerah di Indonesia

Komunitas Negeri Elok mengajak pembaca menelusuri soto bukan sekadar sebagai hidangan, melainkan sebagai jejak rasa yang memetakan sejarah, geografi, dan identitas kultural Nusantara. Buku berjudul “Telusuri Jalanan Kami Bersama Soto” pun hadir untuk mengajak kita mengenal lebih dalam sajian berkuah yang selalu akrab di lidah kita. Bersama dua judul lain, yakni tentang sambal dan nasi, buku ini menempatkan kuliner sebagai bahasa sehari-hari yang menyimpan cerita panjang tentang siapa kita.

Kuah, Kaldu, dan Kemungkinan Tak Terbatas

Pada dasarnya, soto adalah hidangan berkuah kaldu yang bisa berasal dari daging, ikan, atau udang. Terkadang soto juga diperkaya dengan santan atau susu, lalu diisi beragam isian dan daging. Sederhana, namun inilah yang membuatnya lentur dan mudah beradaptasi.

“Soto begitu tersebar luas sehingga saya yakin soto layak menjadi perwakilan tradisi kuliner Indonesia,” ujar Murdijati Gardjito, guru besar teknologi pangan Universitas Gadjah Mada, yang mencatat setidaknya 75 jenis soto di seluruh Nusantara, dengan sekitar 60 persen berasal dari Jawa. Baginya, fleksibilitas adalah kunci.

Advertisement

Kita bisa menambahkan bahan apa pun yang tersedia ke dalam soto. Oleh karena itu, menurut Murdijati lagi dalam buku ini, soto bisa mencerminkan identitas etnis dari pembuat dan pelanggannya.

Ketika Komoditas Membentuk Rasa

Ketersediaan bahan lokal memberi setiap soto karakternya sendiri. Di Jakarta, Soto Betawi hadir dengan kuah santan yang kaya, dipengaruhi tradisi kuliner Melayu dan kemudahan memperoleh kelapa. Di wilayah yang sama, Soto Tangkar memilih iga sapi sebagai penopang rasa, menghadirkan kaldu yang lebih pekat.

Di Pekalongan, kota pesisir yang akrab dengan fermentasi kedelai, lahir Tauto, yakni soto dengan tambahan tauco yang membuat kuahnya lebih kental dan asin. “Akibatnya, soto mereka memiliki rasa yang lebih asin dan lebih kental karena tambahan tauco,” jelas Hardian Eko Nurseto, antropolog pangan dari Universitas Padjadjaran, seperti dikutip dari buku ini.

Waktu, Tempat, dan Cara Menyantap

Selain bahan, konteks juga memengaruhi bagaimana soto hadir dalam keseharian. “Lokasi di mana soto dijual juga berpengaruh,” kata Hardian lagi. Di Kudus, Soto Kudus biasa dijajakan pagi hari di pasar tradisional, disajikan dalam mangkuk kecil untuk disantap cepat usai berbelanja. Sementara itu, Soto Bandung lebih lekat dengan suasana malam, menjadi teman hangat di akhir hari.

Banyak Nama, Satu Ingatan Rasa

Tak semua daerah menyebutnya soto. Di Pekalongan, nama tauto merujuk pada perpaduan tauco dan soto. Di Sokaraja, Banyumas, hidangan ini dikenal sebagai sroto, dengan ciri khas kuah bersaus kacang yang gurih dan kental, disajikan bersama ketupat dan taburan kerupuk.

Di Makassar, semangkuk Coto Makassar tampil dengan kuah daging sapi yang diperkaya kacang tanah halus dan rempah aromatik, lebih pekat dan kompleks, disajikan bersama buras yang dibungkus daun pisang.

***

Dari asal-usulnya yang sederhana hingga menjadi makanan pokok yang dicintai lintas daerah, soto merekam perjalanan budaya Indonesia. Setiap daerah menambahkan sentuhan uniknya, menjadikan soto bukan hanya hidangan penghangat perut, tetapi juga penanda identitas dan mozaik rasa yang terus hidup. Semangkuk soto, banyak cerita.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Tata Rias yang Menyempurnakan Panggung Jakarta Fashion Week 2026

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.