5 Figur Inspiratif Ini Raih Rolex Award 2019
Masing-masing dari mereka berhak atas dana untuk mendukung kegiatan yang berfokus pada lingkungan, sains, ataupun riset kesehatan demi kemanusiaan.
19 Jun 2019


Lima laureat Rolex Award 2019, dari kiri ke kanan: Brian Gitta, Krithi Karanth, Gregoire Courtine, Miranda Wang, Joao Campo da Silva (Foto via Rolex)


Selama lebih dari empat dekade, Rolex Award telah mendukung individu-individu istimewa yang memiliki program jangka panjang dalam ilmu pengetahuan, budaya, dan juga lingkungan. Dimulai sejak 1976, penghargaan ini dirintis oleh Andre J. Heiniger untuk menandai 50 tahun seri Rolex Oyster, jam tangan anti air pertama.

Awalnya, penghargaan ini hanya akan digelar satu kali. Kemudian penghargaan ini menarik perhatian publik internasional dan Heineger kemudian membuatnya menjadi penghargaan ini sebagai program yang berkesinambungan.

Terhitung sejak 2019, penghargaan ini telah mendukung 140 pemenang yang upayanya telah membuat kontribusi signifikan di seluruh dunia untuk meningkatkan kehidupan dan melindungi planet kita. Penghargaan ini juga sesuai dengan semangat Rolex, bahwa dengan komitmen dan hasrat yang kuat, siapapun bisa mengubah semuanya.

Untuk pertama kalinya dalam 43 tahun, masyarakat diajak untuk memilih proyek favorit mereka melalui kampanye media social. Hasil voting akan turut diperhitungkan dalam rapat akhir juri.

Para pemenang Rolex Award tahun ini terdiri dari lima nama yang berasal dari Asia, Amerika, Eropa dan juga Afrika. Masing-masing memiliki kisah yang berbeda.

Joao Campo da Silva dari Brazil misalkan, fokus mengembangkan budidaya ikan araipama raksasa. Ikan endemik asal Amazon ini merupakan salah satu penjaga ekosistem yang mulai terancam akibat perburuan besar-besaran. Pengembangan arapaima ini juga menjadi cara Joao untuk mendukung penduduk asli Amazon yang bergantung pada ekosistem sungai.

Selain itu, ada Gregoire Courtine asal Prancis yang berupaya untuk membantu mereka yang lumpuh agar bisa berjalan kembali. Metode yang dia kembangkan meliputi  pendirian kembali jaringan komunikasi antara otak dengan tulang belakang menggunakan chip implant yang memungkinkan jaringan syaraf tumbuh kembali.

Semangat yang sama juga diusung oleh Brian Gitta dari Uganda. Di Afrika, ada 200 juta kasus malaria pada 2017. Penanganan dan deteksi yang lambat dari penyakit ini seringkali mengakibatkan banyak nyawa yang tidak tertolong. Untuk itu, dia mengembangkan alat deteksi malaria yang murah dan portable dan mudah digunakan untuk mendeteksi penyakit ini.

Di India, Krithi Karanth menyoroti perbatasan antara wilayah konservasi dengan pemukiman penduduk. Konflik antara hewan liar dengan manusia banyak terjadi di wilayah itu. Salah satu upayanya adalah membuka layanan pengaduan atas klaim kerusakan yang ditimbulkan hewan liar.

Sedangkan di Amerika SErikat, Miranda Wang berupaya untuk mengubah sampah plastik menjadi bahan kimia yang bermanfaat bagi inudstri. Limbah plastic sendiri merupakan bahan yang paling sulit diuraikan. Dan metode yang ditawarkan Wang dan rekannya dianggap bisa menjadi terobosan.
 
 

 

Author

DEWI INDONESIA