Semai dan Tuai, Menilik Tren Urban Farming di Tengah Pandemi
Apapun tujuannya, entah untuk ketahanan pangan atau kebahagian diri sendiri urban farming makin bertumbuh di tengah pandemi.
9 Jun 2020



“Sedangkan jika skalanya sudah besar, lebih banyak orang yang mau berkebun, kita bisa membayangkan masyarakat yang barter hasil panen. Kalau pohon durian di rumah saya panen, tentunya sulit untuk dihabiskan cuma sama keluarga saya doang. Saya bisa barter dengan tetangga yang mungkin sedang berlebih buah rambutan. Semakin banyak yang berkebun, semakin banyak kesempatan untuk kita semua menikmati pangan lokal yang sehat, karena lahir sebagai wadah untuk saling memberi dan bertukar panen,” jelas Sandra lagi.

Seperti yang terjadi di Wellington Selandia Baru, masyarakat yang suka berkebun melakukan pertukaran hasil panen. Bahkan dibuat acara festival panen yang meriah lengkap dengan suguhan hiburan musik. Berkebun menjadi alat penyatu masyarakat. Mereka saling berbagi hasil satu sama lain, merayakan panen, dan berkumpul menikmati makanan yang dimasak bersama. Urban farming menjamah sisi lain di luar isu lingkungan, hobi, mengisi waktu luang, dan ketahanan pangan. Lebih dari itu, ada pembangunan komunitas di dalamnya.

Di Indonesia, kesadaran masyarakat Indonesia sudah meningkat. Urban farming dijadikan gaya hidup atau alternatif. Apa yang terjadi di Wellington, juga terjadi di Indonesia. Meskipun motivasinya belum karena kesadaran pribadi dari masyarakat maupun pemerintah. “Indonesia Berkebun beberapa kali membuat acara semacam festival panen dan responnya bagus. Namun, itu atas dasar komunitas dan skalanya tidak terlalu besar,” ujar Sigit. Ia mengakui kalau untuk mencapai tujuannya pada ketahanan pangan, perjalanan urban farming masih sangat jauh. Saat ini orang kota masih merasakan kemudahan mendapatkan sesuatu.

Jika dilihat dari banyaknya makanan yang manusia konsumsi sekarang, jelas urban farming tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan. Biasanya, kebun kecil di rumah hanya bisa memenuhi kebutuhan pangan sekitar 50 persen. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor seperti kondisi alam di daerah tertentu memang tidak cocok untuk menanam semua jenis makanan yang dibutuhkan. Hasil panen Kebun Kumara diupayakan mencukupi kebutuhan makan siang seluruh tim. Kebun Kumara tidak bertekad untuk menumbuhkan semua kebutuhan sendiri. “Karena itu mustahil dan justru bunuh diri. Mustahil karena SDM dan lahan kita terbatas. Bunuh diri maksudnya, menutup diri dari relasi sosial antara petani; tidak peduli yang di kota atau di desa. Karena dengan relasi ini kita dapat berjumpa dengan produk-produk lokal yang berkualitas,” katanya lagi.

Berkebun untuk ketahanan pangan bisa mulai diedukasikan pada anak cucu dimasa depan ketika benar-benar menghadapi krisis pangan. “Bagi saya yang terpenting tetap kesadarannya. Jika kita kembali terhubung dengan alam dan bagaimana proses makanan bisa sampai ke meja makan, kita bisa menjadi lebih peka dengan cara kita berbelanja, memilih produk, dan mengkonsumsinya,” ia menjelaskan. Maka dengan demikian, semua manusia bisa jadi lebih peka dan berpihak pada pangan lokal yang dihasilkan dari para petani. “Kita juga bisa mendefinisikan arti cukup dan bercermin pada tanggung jawab untuk lebih peduli pada alam,” tambahnya. Kerja panjang urban farming untuk lingkungan dan ketahanan pangan masih berjalan. Wabah COVID-19 bisa menjadi langkah kecil bagi kita untuk memulai, hingga sampai pada tujuan yang lebih besar, memenuhi ketahanan pangan secara mandiri. (WHY) Foto: Dok. Istimewa, Dok. Kebun Kumara, Sita Pujianto.


 

 


Topic

Culture

Author

DEWI INDONESIA