Ardhito Pramono Si Pemburu Roman
Solois jaz muda Ardhito Pramono menceritakan hasratnya akan cinta dan jaz yang menjadi sarana pembebasannya
13 Nov 2019


Ardhito mengenakan kemeja biru muda bermotifkan lebah dengan aksen garis merah muda, dipadankan dengan kemeja polo biru tua berkancing emas serta celana bahan berpotongan oversized, ikat pinggang kulit warna cokelat tua, dan loafers putih.

“Saya ini seorang yang hopeless romantic,” kata Ardhito Pramono kepada Dewi ketika sedang menceritakan sumber-sumber inspirasinya dalam berkarya. Film-film Ginger Rogers dan Fred Astaire hingga lagu-lagu jaz era 1930-1950an memantik imajinasinya untuk mencipta. Roman menjadi ruh karya-karyanya.
 
Menurut solois jaz muda tersebut karya-karya seni di periode itu, entah itu dalam bentuk musik ataupun film, lebih jujur. Terutama karya-karya musisi seperti Sam Saimun, Bubi Chen, dan Theresa Zen yang baginya tidak membohongi perasaan.
 
Begitu pula berbagai judul layar perak yang menjadi inspirasinya. “Saya sangat enjoy menonton film-film Audrey Hepburn, Fred Astaire, Frank Sinatra, dan Ginger Rogers karena menurut saya film-film itu lebay tapi romantis banget.” paparnya.
 
Sebagai mantan mahasiswa perfilman, ia pun mengamalkan ilmu yang ia timba dalam melahirkan karya. Perspektif film dalam membangun cerita ia gunakan untuk membangun latar kisah lagu-lagunya. Bagi Dhito para sineas memiliki kecenderungan untuk melihat segala sesuatu dari banyak sisi, lebih overthinking. “Misalnya ketika saya mengira-ngira apakah seseorang yang saya sukai juga punya perasaan yang sama dan bagaimana kalau tidak demikian. Jadi hal itu membantu saya berimajinasi dalam membuat cerita di balik lagu-lagu,” katanya.
 
Dengan segala imajinasi dan sensitivitasnya, Ardhito memang seorang pemburu roman. Ia menyatakan sendiri, keterlibatan perasaan dan pengalaman pribadi memudahkannya dalam membuat musik. Di satu sisi, musik juga menjadi sarana pembebasannya akan segala rasa yang ia simpan.
 
Jaz pun ia pilih sebagai medium untuk melampiaskan ceritanya. Baginya jaz punya keluwesan tersendiri, “Jaz adalah sesuatu di antara, it’s not deliberate, it’s not random,” jelasnya. Pun baginya jaz, selayaknya emosi dan perasaan, merupakan elemen yang inheren dalam diri tiap manusia sehingga karyanya bisa relevan dan menyentuh banyak orang. “Seperti yang Bubi Chen bilang, saya yakin setiap orang punya sisi jaz mereka sendiri,” begitu ujar Dhito. (SIR).

Teks: Shuliya Ratanavara
Foto: Zaky Akbar
Pengarah Gaya: Dinda Pramesti
Busana: Gucci
Grooming: Linda Kusumadewi






 

 


Topic

Profile

Author

DEWI INDONESIA