Ay Tjoe Christine dan Indepedensi Sebagai Seniman
Ay Tjoe Christine menceritakan jalannya menuju independensi sebagai seniman.
14 Mar 2020




Ay Tjoe Christine menggelar Pameran tunggal perdananya pada 2001. “Sebagai orang yang bekerja di Red Point, saya, sama seperti semua seniman yang bekerja di sana, mendapat giliran berpameran tunggal,” ia menjelaskan.

Jangan bayangkan pameran tunggal perdana Ay Tjoe Christine yang diberi judul “Buka Untuk Melihat” itu gegap gempita dan penuh sanjungan apresiasi. Pameran perdananya sepi. “Opening sepi, pamerannya juga. Tapi begitu pun saya tetap senang karena karya-karya saya bisa dipamerkan,” katanya. Di hari terakhir, Edwin Rahardjo pemilik Edwin’s Gallery dari Jakarta berkunjung. “Sepertinya, Pak Edwin agak sedikit dipaksa Pak Jim Supangkat untuk datang melihat pameran saya,” kata Christine sambil tertawa. Edwin sendiri masih mengingat baik momen ketika ia datang ke pameran perdana Christine di Red Point.

“Di tahun-tahun tersebut, Edwin’s Gallery memang sering mencari seniman-seniman baru untuk diajak bekerja sama dan membuat pameran. Maka ketika disarankan untuk melihat pameran Ay Tjoe, saya sengaja menyempatkan berangkat ke Bandung dan melihat. Di saat pertama melihat karya-karyanya, saya segera merasa harus mengajaknya bekerja sama,” Edwin mengisahkan. Beberapa karya yang dipamerkan bahkan langsung diboyongnya ke Jakarta. “Saya melihat karya-karya Ay Tjoe menawarkan sesuatu. Pernyataan dan pergolakan hati yang disampaikan secara liris dalam garis-garis dan sapuan warna di kanvasnya,” katanya.

Kerja sama yang berlangsung selama lebih kurang tiga tahun itu membuka banyak pintu lain bagi Christine. Termasuk kesempatannya untuk menjalani residensi di Jerman yang sejak lama ingin ia datangi untuk meneruskan pendidikan. “Kesempatannya baru datang setelah bekerja sama dengan galeri,” katanya. Pengalaman dan pertukaran ilmunya selama di sana mengubah cara pandangnya tentang bagaimana harus menata kariernya sebagai seniman.

“Sepulang dari Jerman, saya menemui Pak Edwin dan menyatakan keinginan saya untuk menjadi seniman independen yang tidak terikat dengan galeri satu galeri tertentu. Keputusan itu merupakan hasil pengamatan tentang bagaimana seniman-seniman di Jerman membangun kariernya. Saya melihat seniman-seniman di Jerman yang menjadi kuat justru karena mereka independen. Mereka mencari sendiri sumber pemasukannya. Memang perjuangannya jadi lebih berat, tapi jejaring yang mereka punya lebih luas dan itu membuatnya memiliki posisi tawar lebih baik. Saya jadi sadar bahwa independensi adalah nilai tambah yang amat perlu dimiliki seorang seniman. Saya pun mengalami hal yang sama. Begitu memutuskan untuk menjadi independen, saya memang merasakan jejaring saya melebar dan hal itu berimplikasi pada peluang yang terus terbuka bahkan melampaui apa yang pernah saya bayangkan” jelasnya.

Nama Ay Tjoe Christine melesat dan terus berkibar di jagat seni rupa dunia. Karya-karyanya tak lagi hanya dipamerkan di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya, melainkan pula kota-kota dunia di antaranya Singapura, Hong Kong, Taiwan, Seoul, Tokyo, Miami, New York, Paris, Vreden dan Koln. Dari semua perjalanan itu, pelan-pelan Christine belajar tentang bentuk-bentuk kerja sama yang terjadi kemudian pun menjadi lebih cair berbasis kepercayaan bersama. Namun baginya, Indonesia tetap menjadi rumah dan akar yang menghidupi karya-karyanya. “Saya memulai karier di sini dan Indonesia akan selalu menjadi akar bagi pertumbuhan saya.

Negara ini masih selalu memiliki ruang bagi anak-anak bangsanya berkembang,” kata Christine ketika ditanya apakah Indonesia masih menjadi ruang yang kondusif untuk berkarya. Ia bilang, masih menyimpan mimpi untuk membuat pameran tunggal yang sangat spesial di Indonesia. “Dalam bayangan saya, pameran tunggal di Indonesia itu nanti harus lebih bagus dari pameran tunggal saya di mana pun sebelumnya,” kata Christine dengan mata berbinar. Beberapa waktu terakhir, Christine kerap berpameran bersama dua galeri yakni Ota Art Space di Tokyo dan White Cube di London. Di Indonesia, meski tak sering, ia sesekali mengikuti pameran bersama yang bertujuan untuk pengumpulan amal. “Karena kerja untuk pameran di kedua kota itu lumayan padat, saya jadi harus benar-benar cermat membagi waktu untuk membuat karya-karya di luar untuk pameran. Juga saya rasanya selalu punya energi tambahan bila membuat karya-karya yang akan disertakan dalam sebuah charity,” katanya.   

(Indah S. Ariani)
Foto: Chris Bunjamin
Pengarah Gaya: Karin Wijaya
Busana: Tangan, F Budi, Domestikdomestik
Rias Wajah dan Tata Rambut: Marshya D. Martha




 

 


Topic

Profile

Author

DEWI INDONESIA