
Seluruh bangunan remang dan senyap; malam itu, bangunan tempat Charkoal biasa semarak dengan kemeriahan, hening tanpa suara. Pun, gerbang mengayun terbuka, mengundang saya untuk masuk. Sambil menunggu meja-meja dipersiapkan, saya dipersilakan duduk di sofa ruang tunggu.
Saya menghadiri undangan kitchen takeover oleh Edoardo Pellicano, chef peraih bintang Michelin yang kini tengah mengikuti di Indonesia. Charkoal bak didaulat sebagai lokakarya tempatnya mendiseminasikan hasil penelitian. Selama tiga bulan, Edoardo Pellicano: A Residency at Charkoal akan menyajikan kriya gastronomi sang chef dalam tiga belas course.



Memasuki tirai menuju ruang andrawina, Chef Edoardo tengah meracik masakan di dapur terbuka, dengan ramah menyapa lewat senyum di tengah-tengah kesibukannya. Dapur terbuka grup Ismaya ini biasanya berpusar kepada tungku arang, tempat panggang daging dimasak. Akan tetapi, selama residensi ini, dapur ini berdengung dengan segala kesibukan yang liyan.
Para chef berdansa di antara kompor dan tungku, disambut oleh para host yang merengkuh sajian; sementara musik berdengung pelan, syahdu. Chef Edoardo memimpin orkestrasi ini, wajahnya molah-malih seiring dengan tempo dan melodi; dari kernyit serius penuh wibawa ke senyum lebar yang prasaja. Seperti sutradara yang mengamati permainan aktornya—khidmat, pun emosional.



Amuse-bouche dan preambule cita rasa
Segera Sophia, maître d’ kami malam itu, menyambut dan mengantarkan menuju meja yang telah disiapkan. Segelas air dingin dituangkan—lebih segar daripada air mineral biasa menurut lidah saya. Tidak berapa lama, Sofia kemudian datang dengan sebuah nampan kayu berisi seteko air hangat, jeruk limau parut, dan cangkir gerabah berwarna hitam. Dengan ceria, Sophia menjelaskan bahwa mereka bekerja sama dengan sebuah perkebunan organik di Bogor bernama Arista Montana Farm. Menariknya, perkebunan ini memiliki mata air, yang turut digunakan dalam seluruh sajian malam itu—termasuk sajian air hangat dengan parutan jeruk dan air dingin yang menyambut saya. Itu sebabnya kesegarannya berbeda…
Amuse-bouche kami datang berurutan. Tiga sajian telah diracik Chef Edoardo, semuanya menggelitik rasa penasaran saya. Pertapa adalah lobster biru berlapis krim yang diasapi kayu rambutan, berselip merica andaliman… Dan bertabur hamparan truffle musim gugur. Andaliman memberikan sensasi semriwing yang unik, seperti wasabi dan adas yang dikawinkan.
Selanjutnya, adalah sandwich yang ditangkup dalam kubis goreng. Pun, lembaran kubis diracik sedemikian rupa untuk menjelma serupa sayap kupu-kupu—rapuh dan transparan, dengan sulur-sulur nadi daun bak corak nan apik. Terselip di dalamnya adalah daun yang diramban dari Monkey Forest Ubud, berhias aftertaste agak sepat yang lezat.
Yang terakhir adalah roti pipih dari tape, manisnya sopan, berpadu dengan gurih sumsum, sayuran terkaramelisasi, dan acar walnut. Ini, bagi lidah saya, adalah perpaduan sempurna—padu-padan gurih dan legit khas Nusantara, yang menegosiasikan tiap rasa dengan cermat. Terakhir: dango berisi kepiting yang disajikan dengan saus gula aren Kalimantan. Saya mengiyakan kelakar Sophia: apabila tidak dalam etiket andrawina, sudah saya colek habis seluruh karamelnya…
Menu boleh saja baru amuse-bouche, tetapi spirit yang mendampingi sudah demikian memukau. Seluruhnya dipilih secara khusus dari koleksi cellar istimewa patron Chef Eduardo oleh trio Benjamin Glasman, Jordan Scornet, dan Maxime Dacier. Kami menyesap sloki kecil Eigashima Shuzo, Yamato Damashii “Special II” di awal untuk menghangatkan tubuh. Dua sloki disajikan dalam temperatur berbeda, dengan cita rasa yang berbeda pula. Alih-alih gandum: ketika dingin, sake ini lebih terasa seperti tapai legit; sedangkan ketika suhu ruang, ia lebih mirip aroma pisang.
Ketika roti tape hadir, sebotol Château d’Yquem, Sauternes dari tahun 2011 hadir. Anggur satu ini, bagi saya, adalah sorotan yang mencuri perhatian: manis dengan notasi madu yang apik, bersanding dengan sensasi nektar tapai, berdansa tango tanpa menjegal satu sama lain. Saya menutup hidangan pembuka dengan tidak sabar, menantikan sensasi selanjutnya.



Perbincangan di antara sajian: sebuah geopolitik gastronomi Chef Edoardo
Hidangan pembuka pertama adalah cincang udang, dilapisi jeli dari katsuobushi dan berhias kaviar; disajikan dengan mantou berlapis karamelisasi tiram, renyah di luar, lembut di dalam. Bahkan mendengar penjelasannya pun sudah demikian menggugah selera! Sendok kayu disiapkan untuk menyendok cincang udang, yang dioleskan ke atas mantou.
Sembari mampir, Sophia menjelaskan bahwa tiap piranti makan dikriya khusus untuk menguatkan sajian. Gerabah air hangat tadi benar digempur dari abu vulkanik oleh seniman Kumbhakara by Neha; sedangkan sendok kayu dibesut oleh Woodland Kustom. Rancangan yang sangat spesifik ini, tutur Sophia, dipilih karena kualitas masing-masing bahan. Gerabah akan menguatkan cita rasa kebumian dari air mata air, sementara kayu mempertahankan panas suapan, persis seperti cara suap tangan tradisi Asia justru memperkuat cita rasa.
Demikianlah menu selanjutnya datang: sashimi ikan sereting, atau kinmedai, atau kakap emas. Ia berenang dalam kuah sangrai beras hitam, sementara kukus mustard greens bersembunyi di baliknya. Cita rasa asap dari ikan melebur cantik dalam umami kuahnya. Lantas, ikan bass yang disajikan di atas ketan (ya, ketan!) dalam saus kenari Sulawesi (ya, Sulawesi!) dan lapis-lapis truffle musim gugur (ya, truffle!). Saya cukup terkejut bahwa kenari dan truffle berbagi rasa bumi yang senada; justru, rasa manis datang dari ikan bass yang diacar. Terakhir, dekonstruksi dongchimiuntuk membersihkan lidah. Acar Korea ini disajikan dalam bentuk es serut, sensasi yang entah mengapa mengingatkan saya justru kepada asinan Bogor, atau cuko Palembang…
Pendekatan gastronomi Chef Edoardo memang tidak biasa. Dalam perbincangan di penghujung jamuan, Chef Edoardo menjelaskan bahwa ia berfokus kepada bahan pangan. Lantas, yang diracik Chef Edoardo adalah sebuah dialog: bagaimana bahan-bahan yang ia temukan ini berinteraksi dan menghasilkan sedap? Sehingga benar juga apabila saya tidak bisa menuding: apakah ini cita rasa Nusantara yang berusaha dikriya, atau Asia, atau Barat, atau justru fusi dari semuanya? Bukan itu poin dari sajian Chef Eduardo; laiknya ilmuwan yang bereksperimen, Chef Edoardo tengah menguji tesis dan antitesis pangan, demi menyaripatikan sintesis cita rasa.
Menarik mengamati antusiasme Chef Edoardo dalam menjelaskan program residensinya. Ia tampak demikian terpukau oleh bahan pangan yang ada di Indonesia. Kembaranya membawa ia melanglang buana sejauh Jambi bersama Ibu Helianti Hilman dari Javara. Pun, ada ketulusan mendalam, karena Chef Edoardo berusaha mengerti alih-alih sekadar meramban. Ia memiliki pemahaman mendalam bahwa kuliner memiliki sensitivitas kultural. Tiap bahan pangan yang ia petik adalah bagian dari lanskap geopolitik yang saling membentuk dan memengaruhi.
Oleh karena itu, Chef Edoardo dengan sadar menyatakan bahwa dirinya tidak berusaha mereplikasi formulasi kuliner mana pun, tetapi justru mendalami variabel-variabel yang membentuknya. “Saya tidak ingin mengapropriasi,” ia berkata. Dalam era political correctness, ketulusan Chef Edoardo terasa sama pas dengan racikannya.
Dari main course hingga dessert, dansa andrawina paripurna
Sebotol champagne “Diapason,” Grand Cru Extra Brut dari Pascal Doquet, dituang, seakan merayakan hidangan utama sebagai sebuah selebrasi semarak. Champagne ini memiliki palet warna oranye keemasan cantik bak matahari terbenam candikala, dengan gelembung-gelembung sparkling yang mendayu, tidak terlalu banyak. Dengan dituangnya anggur ini, hidangan utama bergaya surf and turf dari laut ke darat pun dihidangkan.
Sepinggan ekor lobster dengan warna oranye manyala, terpanggang keemasan di garis kelimnya, ulah dari lemak bebek yang nakal; disajikan dengan saus miso madu dan foie gras. Dimasak dengan presisi, tiap potong lobster masih empuk dan penuh saripati, pun dengan pinggiran renyah dan gurih. Saus miso dan foie saya colek hingga habis. Ini, bagi saya, adalah atraksi yang membuat andrawina lebih mengasyikkan.
Di titik ini, bagi saya ekor lobster ini sudah menjadi hidangan utama yang menonjol. Maka, ketika daging domba dari Gundagai, Australia, datang dengan saus kacang hitam dan tumis sayur-mayur, saya tidak mengira masih bisa terpukau. Nyatanya saya masih saja terkesima dengan tiap iris daging domba berlapis sausnya. Pun, yang sebenarnya lebih membuat saya jatuh cinta adalah sayur mayur dari Arista Montana. Ada tiga jenis batang sayur yang disajikan—sejenis tanaman paku, batang selada, dan lembaran pokchoy, semuanya diramban segar hari itu juga sebelum dimasak. Hasilnya tumis yang masih renyah dan kaya akan cita rasa klorofil daun-daunannya.
Selain itu, pelayanan andrawina kali ini juga dijalankan tanpa cacat cela. Saya mengagumi betapa alur terjaga dalam kesempurnaan nan kasual. Semua pihak yang menjamu kami silih-berganti terasa begitu karib. Justru, nampaknya semua orang sangat senang untuk diajak berbincang. Sophia pun berseloroh bahwa beberapa informasi yang ia tuturkan tadi hanya ia bagikan bagi pengunjung yang bertanya. Sebuah crème de la crème bagi andrawina malam ini.


Omong-omong soal krim, datanglah hidangan penutup kami. Satu sendok es krim yang diracik segar dari susu peternakan langsung, disajikan di atas compote ubi cilembu dan rosella. Saya tidak bisa menyangkal bahwa gigi manis saya ini dimanjakan oleh pekat susunya. Ubi cilembu menjadi penawar yang familiar bagi kekentalan laktosanya.
Sambil menikmati es krim, saya dan rekan mengintip dapur terbuka. Saya melihat seloyang besar kue dibagikan dalam kertas-kertas minyak ke meja. Semanis-manisnya gigi saya, agak was-was juga melihat bahwa tiap pasang mendapatkan seloyang kue. Benar saja: adalah Chef Warren Smith, pastry chef duet Chef Eduardo, yang datang mengantarkan langsung. Kue madu longsor dengan whiskey, disajikan dengan acar beri, segera terhidang di meja. Chef Warren dengan gesit memotong loyang besar kue madu, yang segera amblas menumpahkan adonan legit custard dengan notasi whiskey nan aduhai…
Saya (dan, rupa-rupanya, tamu-tamu yang lain) sudah terlalu kenyang untuk menghabiskan separuh loyang sendirian. Sophia dengan gesit menghampiri kami dan tanpa basa-basi menawarkan, “Apakah hendak bawa pulang sisanya? Ini enak sekali untuk sarapan.” Tentu saja kami mengiyakan.
Demikianlah jamuan andrawina malam itu berakhir paripurna. Kami berfoto bersama, lantas berjalan keluar. Melihat kami menunggu taksi, tiba-tiba Chef Edoardo keluar dan mengantarkan sebuah kartu. “Ini kartu untuk valet, sehingga taksi tidak perlu membayar parkir,” katanya. Sebuah detail sederhana yang saya rasa merangkum perjamuan kami—hangat, akrab, dan menenteramkan.
Edoardo Pellicano: A Residency at Charkoal masih siap menjamu reservasi Anda hingga November 2025.