Seni Yang Menyelamatkan Hana Madness
Ia meramu lara menjadi bahagia dalam warna dan figur karya yang bicara tentang optimisme hidup.
8 Mar 2019


 
 

Gadis dari masa lalu itu dipandandangnya dengan iba. “Barangkali peluk adalah bahasa yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya padanya.” Begitu kata Hana Al kih, seorang perupa dan aktivis kesehatan mental ketika membayangkan apa yang akan disampaikan pada dirinya di masa lalu. Ia seorang gadis remaja kesepian yang sering mendapat perlakuan kasar secara sikis maupun mental dari orang-orang di sekitarnya. “Saya selalu dihinggapi ketakutan yang tidak medasar, seperti takut ditangkap polisi bahkan terkena berbagai macam penyakit. Setiap berjalan, saya merasa ada yang mengejar. Bayangan-bayangan kilat bewarna hitam kerap menyerang. Suara air kerang terdengar seperti suara keramaian yang saling bertabrakan menusuk kepala,” ia menjelaskan. 

Hana sudah mengetahui apa yang salah dalam dirinya. Orang tuanya mengelak, dan menurut orang tuanya ketidakberesan atas dirinya disebabkan oleh pergaulan dan hal mistis. Sehingga rukiah menjadi solusi. Penanganan yang salah untuk depresinya justru makin membuat gangguannya semakin parah. Perkenalannya dengan seni dimulai sejak SMP, “Saya mulai menggambar sejak itu. Apa saja yang ada di kepala. Meski hanya sekedar coret-coret saja. Saya sadar kalau menggambar bisa menjadi terapi ketika SMA,” tutur wanita kelahiran Jakarta 26 tahun lalu ini. Dari situ, ia mulai sering diminta untuk mengerjakan desain oleh teman-temannya, usaha sablon kecil-kecilan, melukis botol bekas dan lainnya. 

Perubahan karyanya juga sedikit banyak memengaruhi bagaimana ia melihat dunia. Figur monster yang menjadi ciri khasnya, tertuang dari suara-suara yang saling beradu di kepalanya. Baginya, berkarya berarti menjalani terapi. (WHY) Foto: Hermawan

 

Author

DEWI INDONESIA