Dior Spring 2020 Couture: Gema Feminisme dari Maria Grazia Chiuri
Maria Grazia Chiuri mewujudkan imajinasi seniman Judy Chicago akan pahatan-pahatan simbol kekuatan maternal
22 Jan 2020


1 / 15

Koleksi Dior Spring 2020 Couture rancangan Maria Grazia Chiuri menghadirkan satu legion perwujudan dewi-dewi Romawi kuno. Idenya datang dari pertanyaan serius seorang seniman feminis asal Inggris, Judy Chicago, “What if women ruled the world?

Judy pun menjadi kolaborator Maria dalam proses penggarapan koleksi adibusana teranyar Dior ini. Dialog antara keduanya melahirkan ide tentang penyembahan terhadap para dewi dalam cerita-cerita kuno dari sudut pandang yang sangat maskulin dan melahirkan pergulatan bagi para seniman perempuan untuk mencari medium berekspresi yang belum diokupasi laki-laki.

“Hubungan antara kreativitas dan feminitas amat menyentuh saya karena saya menghidupinya secara personal,” kata Maria tentang inspirasi koleksinya. Lebih lanjut dia menyatakan begitu Judy menjelaskan ide tentang dewi-dewi kuno ini, benaknya langsung merujuk pada patung-patung Sandro Botticelli di Roma.

Ide akan feminisme dan pakaian adibusana rupanya tak terpaut begitu jauh. Peplos atau gaun dari era Yunani dan Romawi kuno menjadi benang merahnya. “Pakaian ini tidak dijahit, tetapi dibelit dan diikat sesuai dengan lekuk tiap-tiap perempuan. Prinsip ini juga dekat dengan couture karena kami tak memulainya dengan pola, tetapi dengan melihat bagaimana kain tersebut jatuh pada manekin atau pada tubuh klien,” jelas Maria.

Tak hanya pada gaun, Maria juga melakukan teknik serupa dalam membuat setelan-setelan jas dan rok untuk para perempuan. Bukan hanya soal membuat pola, teknik minim jahitan pun menjadi salah satu sorotan koleksi Dior ini. Maria misalnya menunjukkan bagaimana gaun yang dibuat dari rumbai-rumbai halus tidak menggunakan jahitan sama sekali. Alih-alih, tiap-tiap temalinya dikepang halus dan dibiarkan untuk menjuntai dengan ringan.

Metode drape and tie minim jahitan yang dianut Maria ini hadir dalam ragam gaun diaphanous dari sifon dan sentuhan semburat emas. Maria membawa prinsip yang sama dengan membuat potongan leher lengkap dengan potongan pinggang. Satu pengecualian dilakukan dalam membuat gaun penutup peragaan berupa gaun ekstravagan berbalut payet dan bordir, menampakkan rembulan yang telah lama menjadi simbol kesuburan perempuan.

Kolaborasi antara Maria dan Judy Chicago tentu tak berhenti sampai percakapan belaka. Salah satu wujud konkretnya ialah tempat peragaan yang dirancang layaknya rahim perempuan. Judy menamaninya “The Female Divine”. Di bagian dalam, spanduk-spanduk hasil rajutan dari program pemberdayaan perempuan di India menghiasi panggung. 

Namun, pesan feminisme yang digaungkan Maria pada akhirnya seperti berteriak pada ruang hampa. Sebab terlepas dari ide-ide yang dibawanya, Maria masih belum benar-benar menerabas persoalan identitas perempuan. Salah satunya pilihan modelnya yang masih nampak “seragam” dalam hal ukuran dan usia. (SIR). Foto: Dior.



 

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA