
Di dunia seni kontemporer, nama Olafur Eliasson hampir identik dengan keajaiban cahaya, fenomena alam, dan ruang imersif yang mengundang kita untuk kembali merasakan tubuh dan lingkungan. Lahir di Denmark pada 1967, Olafur telah lama mengolah seni sebagai jembatan antara manusia dan alam; sebuah pengingat halus bahwa pengalaman kita selalu terjalin dengan ritme bumi. Baginya, seni adalah tempat untuk merenungkan bagaimana kita terhubung dengan dunia, dengan sesama, dan dengan diri sendiri.
Karya-karyanya, dari cahaya yang menari hingga kabut yang membungkus ruang, menawarkan sebuah kesadaran lembut: bahwa manusia bukanlah entitas yang berdiri terpisah dari alam, melainkan bagian dari ekosistem luas yang saling bergantung. Inilah fondasi yang terus membentuk praktiknya.
Seni yang Berjalan Seiring Kesadaran Ekologis
Ketika membicarakan pameran terbarunya di Museum MACAN, “Your Curious Journey”, Olafur tak pernah memisahkan estetika dari etika lingkungan. Ia bercerita bahwa sejak awal proses di Berlin, studio memilih karya yang ringan jejak karbonnya, mudah dipindahkan, dan tidak memerlukan instalasi kompleks.
Dalam sesi Artist Talk yang dihelat di Museum MACAN untuk menyambut pameran ini, ia menjelaskan bahwa pameran ini memang dirancang sebagai perjalanan. Perjalanan karya, perjalanan gagasan, dan perjalanan kesadaran. Ia berkata bahwa sejak tahap paling awal, timnya membuat keputusan konkret: mengirim karya melalui jalur laut, bukan udara; memilih material yang lebih ramah lingkungan; serta memastikan bahwa setiap karya dapat dipasang tanpa membutuhkan energi berlebihan.
Pendekatan ini, baginya, bukan sekadar strategi produksi, tetapi filosofi. Ia menuturkan bahwa studio terus berusaha memperbaiki praktiknya, yakni menguji, mencoba, kadang gagal, lalu belajar untuk melakukan yang lebih baik. Kesadaran ekologis, menurutnya, bukan tujuan akhir, melainkan proses panjang yang dijalani bersama tim dan mitra lembaga yang sevisi.
Jakarta: Antara Keindahan dan Kenyataan yang Menggetarkan
Kunjungan Olafur ke Jakarta rupanya juga membuka babak baru dalam pengamatannya terhadap krisis iklim. Ia merasa beruntung dapat bertemu dengan para perwakilan lokal ASEAN yang memaparkan situasi kawasan. Namun pengalaman yang paling membekas baginya justru terjadi ketika ia berkesempatan melihat langsung kondisi Jakarta Utara, wilayah yang selama ini hanya ia kenal lewat laporan dan artikel riset.
Ia mengaku sempat ragu ketika membaca bahwa kota ini mengalami penurunan tanah hingga lebih dari 20 sentimeter per tahun. Namun sesampainya di lapangan, keraguan itu berubah menjadi keterkejutan yang dalam. Ia menceritakan kembali bagaimana ia berdiri di hadapan deretan dinding beton yang saling bertumpuk, melihat lautan yang begitu dekat, dan menyadari betapa jauhnya perbedaan permukaan air dengan permukaan kota.
“Saya melihat laut. Lalu saya melihat level ketinggian daratan kota ini. Perbedaannya sangat besar. Saya tidak percaya. Holy moly,” gumamnya.
Di titik itu, ia merasakan urgensi yang tak lagi abstrak. Krisis iklim bagi Olafur bukan lagi teori atau statistik, melainkan kenyataan yang dialami jutaan orang setiap hari. Ia menyadari beratnya tantangan yang dihadapi Indonesia—bahkan menyampaikan kekagumannya pada masyarakat yang terus berusaha, meski sistem politik dan struktural sering kali bergerak lambat.
Krisis Iklim sebagai Sebuah ‘Polycrisis’
Bagi Olafur, perubahan iklim tidak dapat dipisahkan dari krisis lainnya. Ia memakai istilah polycrisis, sebuah krisis multidimensi yang merangkum kegagalan pemerintah, ketidakadilan sosial, kesenjangan digital, ketimpangan rasial, hingga rapuhnya struktur urban di negara-negara berkembang.
Ia menekankan bahwa setiap krisis besar selalu berawal dari hal kecil: mikroorganisme, partikel, kebijakan lokal, atau keputusan sederhana yang konsekuensinya menyebar jauh. Dari yang paling kecil, dampaknya menjalar menjadi urusan global yang rumit.
Dari sudut pandang ini, seni baginya bukan sekadar ruang estetika, tetapi tetapi ruang kultural yang memungkinkan percakapan sulit bisa terjadi dengan aman. Dengan kata lain, seni baginya merupakan platform untuk memahami lapisan-lapisan persoalan dunia yang jarang mendapat tempat dalam percakapan formal.
Seni sebagai Ruang Aman untuk Bertanya dan Mendengarkan
Olafur percaya bahwa budaya memiliki kekuatan untuk menyatukan yang terpecah. Ia melihat museum, sekolah seni, ruang publik, dan pameran sebagai ruang aman untuk percakapan yang sulit, yakni percakapan yang tidak selalu dapat berlangsung di institusi pemerintah atau sektor swasta.
“Kita butuh ruang seperti museum, sekolah seni, ruang public; tempat-tempat yang memungkinkan kita untuk bisa punya percakapan yang tidak bisa terjadi di pemerintah atau sektor privat,” ujarnya.
Ia juga menempatkan seni sebagai bagian dari ekosistem budaya yang lebih luas: sastra, musik, tari, tradisi lokal, identitas, dan rasa memiliki. Baginya, semua ini membantu manusia merasa dihargai dan diakui; sebuah fondasi penting bagi masyarakat yang ingin bergerak maju bersama.
Olafur Eliasson: Your curious journey
Museum MACAN
29 November 2025 – 12 April 2026
Sebuah perjalanan sensorik dan ekologis yang mengundang pengunjung untuk bertanya ulang: bagaimana kita hidup, apa yang kita tinggalkan, dan dunia seperti apa yang ingin kita teruskan.