Cerita Alam dan Manusia di Perhelatan ICAD 15

Ragam karya hadir tunjukkan cara pelaku seni dan desain dalam menarasikan pandangan mereka mengenai konektivitas alam dan manusia.
“Soulless 1” karya Wishulada Panthanuvong menceritakan tentang benang yang menyatukan makhluk hidup.

Indonesia Contemporary Art & Design (ICAD) kembali hadir di edisi ke-15, membuka ruang diskusi mengenai hubungan alam dan manusia. ICAD memiliki tujuan untuk mengurangi jarak antara seni dan desain, serta dengan masyarakat yang menikmatinya.

Tiap tahunnya sebuah narasi baru dibuka melalui ragam karya yang dipamerkan. ICAD 15 bertemakan “Earth Society” mengajak para pengunjung untuk merefleksikan kondisi lokal, regional, dan masyarakat global terhadap hilangnya ruang hidup yang layak di tenagh perubahan bumi dan kondisi masyarakat.

Rekaman Memori di Tangan Awan Simatupang

“Entah Kapan” karya Awan Simatupang berdimensi 2X5 meter.

Awan Simatupang menampilkan karya bertajuk “Entah Kapan” dengan menyusun ulang kumpulan film seluloid membentuk rupa letusan bom atom. Ilusi yang Ia ciptakan ini mengarah pada peristiwa bom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada tahun 1945 lalu. Namun, dimensi karyanya ini tidak bercerita tentang sejarah, melainkan mengenai metafora krisis sosial dan politik yang berlangsung saat ini. Baik itu itu politik, peperangan hingga genosida.

Advertisement

Awan bercerita tentang mengenai dasar pemilihan material ini. Film seluloid merupakan rekaman memori yang sudah lampau, tidak lagi sering digunakan pada masa yang serba digital saat ini. Sebagian besar kumpulan film itu mungkin terbuang begitu saja, tetapi Awan melihat tiap film sebagai rekaman memori yang berharga. Tangkapan momen yang dibekukan dalam film seluloid ini kemudian Ia sulap menjadi rupa yang apik, menunjukkan rupa awan jamur.

Aliran Air dalam Pandangan Nadirah Zakariya

“Air Mata Air” karya Nadirah Zakariya.

Seniman asal Malaysia ini tampilkan tangkapan kameranya yang berfokus pada air dalam material fabrik dan lightbox. Sebagai seorang fotografer, Nadirah memiliki ikatan tersendiri dengan laut. Tiupan angin yang berhembus menyejukkan hatinya. Begitu pula dengan deburan ombak yang ikut hadirkan keberanian. Nadirah selalu kembali ke laut setiap kali Ia merasa gundah. Kehadiran laut berikan ketenangan mendalam.

Lebih lanjut Ia menyatakan bahwa perasaan manusia yang dinamis mengingatkannya akan metamorfosis alam yang tidak bisa ditebak. Ia juga menampilkan potret vitiligo pada kulitnya, dibalut dengan kilauan air. Mengisahkan pigmen tubuhnya yang dapat berubah mengikuti paparan cahaya yang tubuhnya peroleh.

Karyanya yang bertajuk “Air Mata Air” menyampaikan bahwa pengalaman yang dialami oleh manusia adalah proses yang natural, bahwa manusia juga bagian dari alam. Dengan melihat air sebagai simbol ketenangan, karya Nadirah menceritakan kisah mencari perdamaian melalui harmonisasi akal, tubuh, dan jiwa dengan bantuan alam.

Kembali ke Rahim Ibu Lewat “Symbiosis”

“Symbiosis karya Rein Maychaeolson tawarkan pengalaman baru yang unik.

Di sisi lain ruangan, ada pula karya Rein Maychaelson yang menyinggung humor dan realitas. “Symbiosis” mengisi kamar nomor 214, menawarkan pengalaman untuk masuk kembali ke dalam rahim ibu. Seluruh ruangan dibalut dengan kain berwana kulit, diikuti detail sobekan yang dijahit benang merah. Ruangan ini dilengkapi dengan lampu yang tiap detiknya silih berganti hidup dan mati, seolah-olah sang Ibu sedang bernafas, menghadirkan suasana berada di ‘dalam’ Ibu.

Rein juga menampilkan sebuah tontonan berdurasi tiga menit yang memperlihatkan sisi ironis manusia. Salah satunya melalui fragmen ‘masuk kembali’ ke dalam rahim ibu, serta adegan mencuci baju di pinggir sungai menggunakan mesin cuci.

Pengunjung diperbolehkan memasuki ruangan ini menggunakan alas kaki. Hal ini sengaja dirancang oleh sang seniman untuk memperlihatkan adegan mengintervensi. Dasar kain yang awalnya bersih bisa saja menjadi kotor dipenuhi jejak kaki. Kondisi ini menarasikan sisi lain dari karya ini mengenai alam. Yaitu bagaimana manusia menginterupsi Ibu Pertiwi tanpa pertimbangan mendalam, dan akibat seperti apa yang akan dihasilkan.

***

Beragam narasi dan kisah kisah tentang konektivitas manusia dengan alam hadir di ICAD 15. Salah satunya, seperti karya hasil olahan sampah dari Kreaby, yang mengejawantah gagasan betapa gaya hidup manusia saat ini berdampak pada keberlanjutan alam.

“Kami menghadirkan karya-karya hasil olahan kumpulan sampah, dengan harapan membangun koneksi baru bersama para pengunjung dan menumbuhkan rasa peduli pada jejak-jejak sampah.” Ungkap Arani Aslama, CO-Founder dan Direktur Kreaby.

Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) adalah sebuah festival tahunan yang mempertemukan seni dan desain di sebuah kawasan progresif di Jakarta Selatan, yaitu Kemang. Sejak 2009, ICAD telah menjadi platform pemantik kolaborasi dan wacana antara para pekerja kreatif dan pemikir dari berbagai disiplin: desain, arsitektur, fesyen, film, perhotelan, teknologi, dan banyak lagi. ICAD 15 ini dibuka untuk umum pada tanggal 10 Oktober – 9 November 2025 di GrandKemang Hotel, Jakarta Selatan.

Teks: Nadia Indah
Editor: Mardyana Ulva

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
Seorang staf Amanjiwo melalui gang dalam taman untuk mengantarkan makanan.

33 Hotel Indonesia Meraih MICHELIN Keys

Next Post

Indonesia Restaurant Week Rayakan Gastronomi di Jakarta dan Bali

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.