“The Impossible Shadow”, Silam Pukau Dialog Tak Sampai Asmara dan Ratna

Monolog perdana Asmara Abigail tentang Ratna Mohini di Institut français Indonésie memukau dalam prasaja naratif dan presisi emotif.
Asmara Abigail berperan sebagai Ratna Mohini, berbalut busana Toton, dalam The Impossible Shadow. Foto dokumentasi oleh Eandaru Kusumaatmadja.

Sebuah titel hitam putih ditembakkan ke layar putih, lantas menghilang. Cahaya temaram menciptakan gradasi elusif. Di balik layar, seorang puan dengan mantel zaitun dan sabuk putih berpayet duduk dengan kaki menyilang. Ia menatap penonton dalam tajam nan dingin, lantas menyitir nama-nama bak mantra, “Carolina Jeanne de SouzaEllie… Ratna Cartier-Bresson… Ratna Mohini.

Ratna Mohini, primadona Paris yang tersilap

Penggalan di atas adalah adegan pembuka The Impossible Shadow, pertunjukan tunggal aktris Asmara Abigail. Dipentaskan di Institut français Indonésie (IFI) Jakarta, pertunjukan ini merupakan perayaan 75 tahun hubungan diplomatis antara Indonesia dan Prancis. Tema “Les Passeurs Culturels” mengangkat ikon-ikon yang telah menjalin keterhubungan dua bangsa jauh sebelum diplomasi politis terbangun. Salah satunya adalah empunya nama yang dilisankan dalam japa mantra, Ratna Mohini.

Sama seperti Asmara, keturunan Jawa yang malang melintang di perfilman Eropa, Ratna Mohini adalah seorang penari Jawa yang berkarya di Paris sirka Années folles 1930-an, ketika Prancis menjadi jantung pertukaran budaya berbagai bangsa dalam gemerlap jazz yang semarak. Ratna menjadi primadona café society Prancis lewat tari-tarian tradisinya. Kisah cintanya yang legendaris dengan Henri Cartier-Bresson, fotografer humanis kenamaan Prancis, dalam apartemen di rue Neuve-des-Petits-Champs, membentuk pendekatan sang fotografer akan karya visualnya.

Advertisement

Dengan sendirinya, kehidupan Ratna Mohini menjadi sebuah studi yang unik. Ratna adalah anomali pada zamannya: puan bervisi kosmopolitan, yang meskipun berdikari, namanya lagi-lagi hanya tercatat sejarah karena eksistensi laki-laki. Bagaimana dinamika seorang perempuan kulit berwarna, yang terseret pusaran arus pergolakan sejarah dunia dalam abad ke-20? Atau, lebih tepatnya, bagaimana seorang perempuan yang demikian, bisa tidak terdengar lantang?

Maka menarik bahwa Asmara memilih mengangkat Ratna, yang silap dari ingatan kolektif kita. Pertunjukan ini menjadi penting untuk menubuhkan Ratna Mohini sebagai sosoknya sendiri, selain menegaskan Asmara sebagai tour de force kesenian. Asmara pertama kali memikat perhatian penikmat seni ketika ia debut sebagai tokoh utama film arthouse besutan Garin Nugroho, Setan Jawa (2016). Lepas makin kondang lantaran membintangi jajaran blockbuster horor Tanah Air, The Impossible Shadow seakan menjadi eksperimentasi Asmara untuk kembali menjejakkan eksistensi dalam lanskap yang lebih auteur.

Asmara menceritakan perjalanannya menemukan Ratna dalam perbincangan kepada DEWI selepas pentas. Alkisah pada suatu ketika di tahun 2019, dua orang teman Asmara berseloroh bahwa ia sangat mirip dengan Ratna. Kebetulan ini tidak benar-benar sebuah kebetulan: memang, Ratna dan Asmara berbagi kisah yang begitu mirip, meskipun tak pernah bertemu lantaran beda masa hidup.

Asmara memutuskan menziarahi sejarah Ratna Mohini. Asmara tidak main-main: ia melakukan riset secara mendalam. Ia merunut memoar dan manuskrip Ratna di Bibliothèque nationale de France (Perpustakaan Nasional Prancis), artikel, buku, dan foto. Dari sinilah, Asmara lantas memprakarsai proyek ambisius: menulis, menyutradarai, sekaligus membintangi sebuah monolog yang menampilkan sejarah Ratna Mohini yang terlupakan.

“Semua tulisan dalam naskah saya adalah kisah nyata Ratna,” jelas Asmara.

The Impossible Shadow pun lahir, bak sebuah dialog tak sampai antara seorang murid dengan sang guru. Asmara menggandeng Yulia Evina Bhara sebagai ko-produser dan Dani Huda sebagai ko-sutradara. Dengan busana rancangan Toton dan sapuan kuas Yosefina Yustiani, Asmara lantas menubuhkan bayang-bayang Ratna.

“Saya merasa Ratna berada dalam diri setiap orang. Setiap orang berjuang untuk kemerdekaan masing-masing untuk bereksplorasi… Semua orang berbagi jiwa seorang Ratna Mohini dan ia berhak untuk dirayakan.”

Mendalangi bayang-bayang Ratna Mohini

Kembali ke adegan panggung: setelah menyebut nama-nama panggilan Ratna, Asmara menjelaskan sebuah mimpi ketika ia bertemu dengan Ratna. “Ia mengucapkan sesuatu kepada saya… Pun, ketika saya terjaga, saya tidak bisa mengingat, apa yang Ratna katakan?”

Asmara pun menyibak tirai dengan eksposisi sang Ratna Mohini. Lahir di Batavia, Ratna dikenal sebagai sosok mungil berwajah jelita dan bundar bak purnama. “Wajahnya mengingatkan saya kepada nenek, yang sama-sama berdarah Portugis…”

Ratna, tutur Asmara, lantas memutuskan untuk berkiprah di Paris. “Sebagai perempuan Jawa di jantung Paris, ia ditakdirkan menjadikan Paris sebagai rumah hingga akhir hayatnya. Ratna adalah salah satu dari segelintir jiwa yang melintasi Timur ke Barat, seorang perempuan kulit berwarna… Ia memutuskan, ‘Aku akan menari, dan aku akan menari di Paris!'”

Dalam tiap dialog Asmara, terselip gerak-gerik tari Jawa yang khas: jari-jemari yang bertaut dalam posisi ngithing dan leher yang bergoyang dalam pacak gulu. Asmara berbicara bukan sekadar lewat lisan, melainkan lewat ketubuhan. Air mukanya berubah-ubah dalam tiap kalimat, mengekspresikan emosi dalam tiap kata, menarik tiap otot dan urat lewat perasaan yang kental dan kuat. Ia melompat-lompat trengginas dari kepercayaan diri yang angkuh, ke gelora yang berkobar-kobar, dan tangis yang mematahkan hati.

Lampu sorot yang menyinari figur Asmara menciptakan bayang-bayang ganda dari gesturnya, membuat kita mau tidak mau membayangkan, tidak mustahil bahwa Ratna Mohini sendiri yang menari di balik bayang-bayang ini…

Ada satu titik dalam pertunjukan ketika saya pun mempertanyakan: apakah ini Asmara yang berbicara, atau Ratna Mohini? Peran yang Asmara mainkan mirip dengan lelakon khas Asmara: sosok dengan emosi nan kuat, dari melankolia hingga histeria. Seperti beberapa peran Asmara lainnya, ada pula si gadis gundah yang bergelut dengan dirinya sendiri, dengan indah.

Tetapi, ini toh, memang retrospeksi Asmara pribadi; perjalanan menemukan Ratna, ujar Asmara, adalah perjalanan menemukan dirinya sendiri. Seperti intan, ada banyak lapisan fasade yang berkelindan dan bersinar saling-silang. Dalam The Impossible Shadow, Asmara semata menggelar daya aktingnya, sehingga lapis-lapis lelakon ini tersorot ke hadapan penonton.

Silam-pukau seorang Asmara

Seruling mengalun merdu, permainan Dani Huda. Sosok lain masuk ke dalam panggung: seorang puan dalam balutan busana biru, menyilang asimetris bak sari Rajasthani, dengan rangkaian sunggar melati khas Hindi. Penari Alia El-Edroos menubuhkan bayang-bayang Ratna Mohini. Bersama Asmara, keduanya menari, bak refleksi dalam cermin yang meniru dan bergulat satu sama lain. Siapakah yang Durga, dan siapakah yang Mahendradatta?

Babak ini adalah murni sebuah sendratari. Tidak ada dialog, ketika Asmara dan Alia berbicara dalam bahasa tubuh. Tetapi, justru dalam babak inilah, ceritera dituturkan dengan kuat. Tari, tampaknya, memang forte Asmara. Ia menyihir lewat gerak dan menyirap lewat ekspresi, yang silih-berganti dengan rancak dalam babak ini: dari bingung, hingga murka, hingga patah hati.

Cahaya merah memudar; Ratna/Asmara berdiri dengan dada kembang-kempis terisak, meluapkan emosi. Di belakangnya, Ratna/Alia, memeluk dengan pancaran penuh kasih.

Di titik inilah sebuah perasaan menyergap hingga sesak. Ada sesuatu yang begitu personal dalam cerita ini. Asmara berbagi sebuah perjalanan yang sangat intim: perjalanan ke dalam diri. The Impossible Shadow bukan sekadar perjalanan Asmara untuk menziarahi Ratna Mohini, melainkan perjalanan Asmara untuk menemukan kedalaman dirinya sendiri.

Ini pula yang membuat akting Asmara dalam The Impossible Shadow memukau secara tidak biasa. Akting Asmara terasa karib dengan cara yang asing. Rupa-rupanya, kita sedang diajak melihat sisi terdalam sang aktris, yang selama ini tersembunyi di balik karakter yang ia lakoni, terselip di balik bayang-bayang Asmara. Selama ini, dalam peran-peran layar perak Asmara, kita hanya melihat citra yang digerakkan para imajinasi para dalang, tergelak tertawa gila dalam lelakon “cegil” maupun menjerit liar khas seorang “scream queen“. Tetapi, dalam The Impossible Shadow, pertunjukan yang ia prakarsai secara penuh, Asmara akhirnya terbebas. Asmara bak wayang yang membangkang terhadap para dalang, merenggut tabir layar beber dan membiarkan cahaya blencong menyinari sejati dirinya yang utuh: rapuh, tidak sempurna, dan eksentrik, pun memukau dalam segala banalitasnya.

Panggung blackout secara mendadak. Pentas selesai sudah, dan penonton yang sebelumnya terenyak, kini bangun memberikan aplaus dengan semarak. Asmara—sang aktris, sang dramaturg, sang dalang—keluar dari tabir belakang layar dengan sumringah. Sebuah metafora: karena dalam The Impossible Shadow, lewat perbincangan dengan bayang-bayang lalunya, Asmara akhirnya menceriterakan citranya sendiri secara utuh…

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Menutup Pengalaman Kebugaran dengan Sesi Penyembuhan Melalui Suara

Next Post

Valentino SS 2026: Alessandro Michele Menghidupkan Kembali Cahaya yang Hilang

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.