Arief Suditomo dan Dunia Dalam Media
Dari penggunaan mesin tik hingga televisi digital, Arief Suditomo telah menjadi saksi perkembangan media yang pesat. Lahir dan besar di lingkungan media, Arief punya rencana menghabiskan masa pensiunnya di dunia yang membesarkannya.
24 Mar 2020


 

Arief dibesarkan oleh ibunya setelah orangtuanya bercerai. Saat itu, usianya masih delapan tahun. Karena itu, ia mengaku bukan lelaki tradisional yang melihat pembagian peran laki-laki dan perempuan secara stereotipe. Ia melihat ibunya bekerja keras bukan saja untuk memenuhi standar kehidupan yang baik tetapi juga untuk aktualisasi dirinya. Jadi ia paham betul soal prioritas dan beban perempuan,

Sementara itu, setelah ia menikah, Arief melihat ibu mertuanya mendedikasikan diri 1000 persen untuk suami, anak-anak, dan juga cucucucunya hingga akhir hayatnya. Hal tersebut juga memperkaya wawasannya soal peran perempuan. Istri Arief sendiri, saat ini memilih menjadi ibu rumah tangga full time.“Saya pikir ia sudah bekerja dengan sangat baik mengurus saya, rumah tangga, anak-anak dan semua hal yang tidak bisa saya lakukan di rumah,” ujarnya. Semuanya berpulang pada kondisi masing-masing. Di saat kita bisa berdamai dengan kondisi kita dan bisa menentukan peran yang paling cocok dengan situasi yang kita hadapi bersama, ada pertanyaan muncul. “Apakah kita berdua harus bekerja? Atau salah satu saja?” Bila jawabannya bisa didapatkan dengan pertimbangan yang dapat diterima kedua belah pihak, maka keseimbangan akan tercipta. Begitu pendapat Arief.

Keseimbangan juga ia pikirkan untuk pengembangan dirinya sendiri dengan membaca. Waktu tersedia yang memungkinkannya untuk membaca memang tidak banyak tapi waktu itu harus ia sisihkan karena membaca membuatnya menjadi kreatif. Sebelum tidur menjadi waktu yang pas untuk membuka lembar buku dan tenggelam di dalamnya. “Atau di akhir pekan, ketika senggang dan semua orang tidak butuh saya,” ujarnya sambil tersenyum.

To Kill A Mockingbird karya Harper Lee menjadi buku paling berpengaruh dalam hidup Arief. Novel yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1960 itu yang membuat langkahnya pasti mengambil jurusan hukum setelah lulus SMA. Di masa dewasanya, Arief menikmati buku-buku biografi. Dari perjalanan hidup Abraham Linclon hingga kisah-kisah keluarga tua di Amerika Serikat dan Eropa habis dibacanya. Membaca cerita kehidupan seseorang membuatnya seolah sedang berkenalan dengan mereka. Kita dapat memahami tindakannya dan memelajari hal tersebut jika suatu saat menghadapi situasi serupa. Tak heran bila banyak orang yang gemar membaca buku bergenre biografi.

Ada satu hal yang unik dari cara membaca novel yang dipraktikkan Arief. “Saya membaca bagian awal lalu belakang. Setelah itu mulai lagi di bab dua.” Dengan demikian ia sudah tau akhir cerita novel tersebut, waktu membaca dapat dipangkas. Arief berbagi kisah soal latihannya membaca cepat sebelum kuliah master dulu. Jurnal dan novel adalah dua contoh bacaan yang dibaca dengan cepat. Buku-buku puisi tentunya tidak bisa karena membutuhkan penelaahan dan penghayatan yang berbeda. Karya tulis di AS, kata Arief, memiliki sistematika yang sudah terstandarisasi, sudah diatur untuk dapat dibaca cepat. Sementara Indonesia belum bisa seperti itu. Dari paragraf pertama, pembagian pokok-pokok, elaborasi, dan seterusnya sudah baku. Sistematika ini dirasanya sangat membantu untuk metodologi penelitian penulisan ilmiah dan pekerjaannya sebagai wartawan.

Arief punya ketertarikan tentang metodologi penelitian. Ia sempat menjadi dosen, profesi yang sangat dekat dengan hal itu. Di masa depan, ketika kelak ia pensiun, mungkin profesi itu pula yang akan ia geluti, menjadi dosen atau penulis. Satu syaratnya, berhubungan dengan media. Lahir dan besar di media, segala sesuatu tentang media menarik perhatiannya, termasuk nasib media di masa mendatang. Bagaimana media bekerja dan bagaimana bisnis ini akan berkembang. “Saya tumbuh disebuah periode yang sangat berbeda dengan sekarang. Evolusi dan revolusi media dari zaman pertama kali saya jadi wartawan tahun 1992 sampai sekarang telah saya jalani dengan berbagai macam penyesuaian, teknologi, dan perkembangannya. Saya merasa tidak banyak (wartawan) yang mengalami masa menulis menggunakan mesin tik,” begitu ujar Arief. Pengalamanpengalaman itu bisa ia bagi dan semoga membawa hal-hal yang baik di kemudian hari. “Saya pikir itu yang bisa membuat saya bersemangat, berbagi, mendharmabaktikan apa yang saya tahu tentang media untuk masyarakat.” (Nofi Triana Firman) Foto: Rico Leonard

Pengarah Gaya: Erin Metasari
Busana: Jaket dari Coach

 

Author

DEWI INDONESIA