
Dewi Fashion Knights (DFK) high-end ready-to-wear kembali hadir tahun ini, di perhelatan Jakarta Fashion Week (JFW) 2026. Gelaran mode yang menjadi signature show Majalahg DEWI di JFW ini kembali meneguhkan dirinya sebagai panggung yang merayakan keindahan dan keagungan craftsmanship Indonesia. Kali ini, DFK high-end ready-to-wear menghadirkan tiga nama besar yang masing-masing memaknai keindahan dengan caranya sendiri: TANGAN Privé, KRATON by Auguste Soesastro, dan TOTON Signature. Tiga perancang, tiga visi, satu semangat yang sama: menggali akar budaya dan mengolahnya menjadi sesuatu yang halus, elegan, dan bermakna. Yang tak sekadar indah untuk dilihat, tetapi juga untuk direnungkan.
TANGAN Privé: Ekskavasi Identitas dan Keanggunan yang Tersembunyi

TANGAN Privé membuka show DFK high end ready-to-wear, menampilkan koleksi berisi 18 tampilan yang mengajak kita melihat tradisi bukan sebagai cermin, melainkan sebagai jendela yang membuka ruang tafsir baru. Untuk pertama kalinya, TANGAN Privé juga memperkenalkan tiga tampilan menswear yang menghadirkan kesan tenang, berwibawa, namun tetap lembut.
Teknik corsetry dan bustier menjadi tulang punggung koleksi: membentuk siluet yang tegas namun sensual, sering tersembunyi di balik mantel panjang, jaket terstruktur, atau kebaya berlapis yang diinterpretasi ulang. Sebuah mantel satin merah dengan lengan arsitektural, misalnya, menyembunyikan lapisan Tenun di bagian dalam, sebuah gestur keintiman dan kemewahan yang nyaris rahasia.
Kolaborasi dengan Mahija dan Rajnik memperkaya narasi ini. Perhiasan perak Mahija muncul bukan sebagai ornamen, tapi bagian dari struktur desain; sementara sepatu karya Rajnik menegaskan dedikasi pada keahlian tangan yang berakar pada nilai lokal.
KRATON by Auguste Soesastro: ‘Made in the World’ dan Keanggunan yang Menyatu



Jika TOTON berbicara tentang kejujuran dan TANGAN tentang pencarian identitas, maka KRATON by Auguste Soesastro menawarkan pandangan global yang tetap berakar. Koleksinya, bertajuk “Made in the World”, menafsirkan kembali pelabuhan-pelabuhan dagang kuno di Sumatra—tempat di mana budaya, manusia, dan kain dari berbagai penjuru dunia saling bertemu.
“Saya tertarik dengan ide bahwa sejak awal, Nusantara sudah menjadi tempat pertemuan banyak dunia. Koleksi ini adalah cara saya merayakan itu,” ujar Auguste.
Kain-kain yang digunakan adalah hasil percampuran budaya: jacquard India, brocade Jepang, songket dan batik dari Sumatra. Setiap helai mengisahkan jejak perdagangan, pertukaran, dan adaptasi antarperadaban. Dalam satu busana, motif Tiongkok kuno berpadu dengan siluet imperial collar khas KRATON, mewujudkan dialog antara masa lalu dan masa kini, Timur dan Barat.
Koleksi ini berani bermain dengan tabrakan motif dan warna mencolok—keluar dari estetika minimalis yang biasa identik dengan KRATON, namun tetap mempertahankan ciri khas: potongan arsitektural, detail yang presisi, dan sentuhan agung yang tenang.
“Saya percaya, keanggunan tidak selalu harus tenang; kadang justru muncul dari keberanian untuk keluar dari zona nyaman,” tutupnya.
TOTON Signature: “Pulau Emas” dan Keindahan yang Tak Selalu Berkilau

TOTON kembali menghadirkan rancangannya di panggung DFK dengan koleksinya yang bertajuk “Pulau Emas”. Ini merupakan sebuah refleksi sang perancang tentang realitas Indonesia yang penuh paradoks. Koleksi ini juga terinspirasi oleh Sumatra, terutama sejarah dan budaya Aceh yang istimewa. koleksi ini tidak hanya menyingkap kekayaan budaya, tetapi juga mengajak kita menelaah makna sejati dari kemakmuran dan keindahan.
“Saya terinspirasi dari ide tentang emas, sesuatu yang tampak berharga, tapi kadang tidak seperti yang terlihat.” ujar Toton kepada DEWI, menjelaskan filosofi di balik koleksi ini. “Pulau Emas adalah cara saya menafsirkan Indonesia, negara yang penuh potensi dan keindahan, tapi juga penuh tantangan. Koleksi ini adalah refleksi sekaligus pengingat.”
Toton menggunakan material upcycled atau recycled untuk koleksi teranyarnya kali ini. Tidak ada kain baru yang dibeli. Beberapa busana bahkan dihiasi lukisan tangan dan aksesori dari tanah liat yang dibuat manual, mewujudkan keindahan yang lahir dari kesederhanaan dan kepedulian.
“Saya merasa, di tengah dunia yang serba krisis, mencipta bisa jadi bentuk terapi. Dengan mengolah yang lama menjadi baru, kita juga sedang mengolah energi negatif menjadi sesuatu yang positif.” tutur Toton lagi. Sebuah pernyataan yang terasa bukan hanya untuk mode, tetapi juga untuk kehidupan.
DEWI Fashion Knights adalah panggung puncak perayaan mode Indonesia. Bukan sekadar peragaan busana, tak sembarang desainer punya kesempatan tampil di panggung ini. Konsistensi, karakter, dan kepiawaian teknik para perancang menjadi aspek kurasi utama dalam memilih desainer yang pamer karya di DFK.
Foto: dok. Jakarta Fashion Week